KH. Moch. Ilyas Ruchiyat [Ajengan Santun dari Cipasung]

27 Mei 2010 Bulletin Ar-Risaalah

KH. Ilyas Ruchiyat Dalam khazanah budaya Sunda, dikenal adanya tiga pembagian kekuasaan yang setara dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ketiga lembaga kekuasaan itu menyatu dan saling mendukung. Kekuasaan yang dihormati adalah kekuasaan rohaniah yang disebut resi. Kekuasaan kedua disebut ratu, yakni pihak eksekutif yang memerintah ketiga kampung kekuasaan. Dalam bahasa yang lebih primordinal disebut negara. Dan alamat ketiga adalah rama yang tak lain adalah rakyat, yang lembaganya mengurusi keamanan dan pertahanan ketiga kesatuan tripartit kampung. Dengan demikian, ketiga lembaga memiliki pucuk pimpinan atau jawaranya sendiri-
sendiri, yakni jawara rohaniah, jawara eksekutif, dan jawara silat.

Sosok kharismatik ajengan Cipasung Tasimalaya yang dibedah biografinya dalam buku ini tak lain adalah sosok resi yang telah mensenyawakan dirinya dan mentalitas spiritualitas Islam secara natural dengan mentalitas budaya Sundanya di Cipasung. Dia bernama KH Moh Iyas Ruhiat. Dilahirkjan hari Ahad, 12 Rabiul Awwal 1352 H/31 Januari 1934. Namanya sebagai tafa’ul terhadap tokoh muda pesantren yang tengah naik daun saat itu, KH Muhammad Ilyas, yang pernah menjabat Menteri Agama dalam tiga periode (h. 37). Sejak kecil sampai dewasa, Endang Ilyas (anak kiai diseputar Tasikmalaya lazim dipanggil Endang), dididk oleh orang tuanya sendiri. Ajengan Ruhiat, bapak Endang Ilyas, adalah perintis pesantren Cipasung. Ajengan Ruhiat termasuk pelopor masyarakat Tasimalaya dalam menghadang imperialisme penjajahan Belanda, sehingga pada 17 November 1941 beliau ditangkap dan ditahan bersama ulama terkemuka, KH Zainal Musthofa di Penjara Sukamiskin dan dibebaskan 10 Januari 1942 (h. 29). Kegigihan sang ayah, sekaligus guru yang paling disegani Endang Ilyas, inilah yang menjadi spirit Ilyas untuk terus belajar secara tekun dan selalu bersikap tegar yang nantinya mampu menjadi modal memperjuangkan masyarakat Cipasung.

Kecerdasan dan ketegarannya membuat orang tuanya bangga, sehingga ketika sang Ayah merasa sakitnya parah, Endang Ilyas langsung dibai’at oleh ayahanda sebagai penerus kepemimpinan pesantren Cipasung. Ditangan Moh Ilyas, Cipasung sejak tahun 1980-an sampai sekarang menjadi pesantren besar yang penuh prestasi. Terlebih ketika Ajengan Ilyas terpilih sebagai pelaksana harian Rais Aam PBNU yang ditinggalkan KH Ahmad Siddiq dalam Munas Lampung tahun 1992. Dan kemudian beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar XXIX tahun 1994 di pesantrennya sendiri, Cipasung. Kesuksesan Ajengan Ilyas menjadi Rais Aam PBNU membuktikan akan teguhnya beliau sebagai seorang resi. Dan beliau sampai saat ini, adalah satu-satunya orang Sunda yang pernah menduduki posisi Rais Aam. Karena dalam kepemimpinan NU, jabatan Rais Aam selalu diisi orang Jawa. Dan perlu dicatat, Rais Aam bukanlah sekedar jabatan. Yang terpilih (bukan dipilih) adalah mereka yang kharismatik dan benar-benar menjadi panutan ummat. Sebut saja mislanya KH Hasyim Asy’ari, KH A. Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Sansuri.

Sosok resi yang melekat dalam diri Ajengan Ilyas sangat dirasakan oleh seluruh warga NU dan pesantren. Beliaulah yang menjadi siger tengah (tokoh moderat) dalam konflik elite NU di Munas Lampung 1992. Waktu itu, Gus Dur berseteru dengan pamannya sendiri, KH Yusuf Hasyim, dan KH Ali Yafie. Pada Muktamar Cipasung tahun 1994, ketika Gus Dur dan Abu Hika warga NU sedang bergairah era reformasi, beliau juga merestui lahirnya PKB yang kemudian mengantarkan Gus Dur sebagai Presiden ke-4 RI. Sampai sekarang, walaupun kondisi fisik beliau sudah sangat lemah, ketika warga NU diterpa godaan politik yang menggoyahkan Khittah 1926, beliau tetap bersungguh-sungguh mempertahankan Khittah yang diwariskan para sesepuh NU.

Totalitas perjuangan Ajengan Ilyas dalam NU sangatlah besar dan dikagumi warga NU. Tidak hanya warga NU, tetapi seluruh bangsa. Karena di Jawa Barat beliau juga sering memelopori dialog lintas agama dan linta sektoral. Beliau selalu menggandeng Muhammadiyah dalam persoalan umat Islam. Dalam pluralitas keberagamaan, beliau selalu menggendeng para pemuka agama Indonesia, termasuk ikut masuk dan berceramah di pesantrennya. Walaupun demikian, beliau tetap santun dan rendah diri. Menduduki posisi tertinggi di NU, beliau tetap tinggal di Cipasung. Karena baginya, Ilyas dan Cipasung bagai biji yang tumbuh ditanahnya sendiri.


“Kawin Emas” Kiai Ilyas Ruhiyat: Istri Pertamanya, Pesantren
  
Keberhasilan membina rumah tangga, telah mengantarkan sosok Kiai Ilyas menjadi panutan. Menjadi tokoh nasional, dengan serangkaian jabatan amanah melekat pada dirinya. Hal yang membahagiakan pasangan ini, juga karena mereka telah berhasil mengantarkan anak-anaknya sukses dalam bidang pendidikan. Si cikal Acep Zamzam Noor jebolan ITB, juga pernah dua tahun menimba ilmu di Italia, lebih dikenal sebagai seniman. Anak keduanya, Ida Nurhalida meraih master di UPI Bandung, dan si bungsu Enung Nursaidah Rahayu juga master pendidikan biologi. "Hal yang menggembirakan, semua anak-anak kami setelah selesai sekolah, sekarang kumpul kembali di Cipasung," kata Nyonya Dedeh.

Nama Kiai Ilyas dengan daerah Cipasung sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Prof Jokob Sumardjo, guru besar STSI Bandung, bagai biji yang tumbuh di tanahnya sendiri. Ia tidak pernah meninggalkan kampung itu sehingga Cipasung identik dengan Kiai Ilyas.

Ilyas kecil memang lahir di Cipasung, tanggal 13 Januari 1934. Ayahnya adalah ulama besar di Tasikmalaya, K.H. Ruhiat, dan ibunya Aisyah. Kiai Ruhiat berusaha meminta anaknya yang satu ini agar bisa menghafal semua kitab, agar bisa menjawab semua persoalan. Selain ngaji ke ayahnya, Ilyas sering juga mengikuti pengajian Kiai Saefulmillah, Abdul Jabar, Ustaz Bahrum.

Ilyas ingin meneruskan ke Mesir, belajar di Universitas al-Azhar. Tapi, semua itu harus disimpan dalam kenangan. Karena saat usainya ke 22 tahun, Ilyas diminta untuk menikah dengan Dedeh, putra ajengan K.H. Mapruh, asal Rancapaku.

Kiai Mapruh ini adalah teman Kiai Ruhiat, sewaktu aktif di NU. Dedeh, kelahiran 6 April 1942, waktu itu baru lulus SD. Dedeh juga ingin melanjutkan sekolah. Tapi, karena satu sama lain menghormati serta patuh kepada orang tuanya, mereka menikah tepat pada tanggal 14 Juli 1956.

"Saya sebelumnya tidak kenal dengan Apih (Kiai Ilyas-red), hanya tahu saja sering datang memberikan ceramah. Makanya, kaget juga ketika tahu dijodohkan dengan Apih ini," kata Hj. Dedeh.

Hal yang mengharukan, selama menikah tidak pernah Ilyas memarahi istrinya. "Selama 50 tahun hidup bersama, Apih ini tidak pernah membentak, atau memaki saya. Apih sayang sekali kepada kita, sabar serta penuh perhatian kepada kami atau kepada anak-anak. Selalu menghargai sikap saya, juga mengayomi, " ujarnya.

Kiai Ilyas Ruhiyat sendiri pada tahun 1990-an menjadi ulama NU yang sangat disegani di tingkat nasional. Pada Muktamar NU tahun 1995 di Cipasung, Tasikmalaya, Kiai Ilyas mendapat amanah untuk memimpin NU bersama Gus Dur. Pada masa itu, Kiai Ilyas mampu membawa NU melewati masa-masa sulit karena menolak intervensi Orde Baru. Kiai Ilyas pernah menolak permintaan pemerintah yang memohon kesediaannya menjadi anggota MPR. Independensi NU saat itu tidak lepas dari peranan Kiai Ilyas sebagai Rais Aam PBNU.

Kesibukannya mengajar, ceramah dan mengurus NU itulah yang menyebabkan Kiai Ilyas sering meninggalkan istrinya, Hj. Dedeh. Kadang ia merasa jadi istri yang ketiga. Istri pertamanya, pesantren, kedua NU. Selamat ulang tahun pernikahan ke 50 Pak Kiai!


Selamat Jalan Kyia kami.......

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…Tokoh besar NU telah meninggalkan kita. Beliau dipanggil pulang Yang Maha Kuasa, Selasa (18/12/2007) sore pukul 16.15 WIB dalam usia 73 tahun. Beliau adalah sosok hadir yang di panggung nasional dengan kejujuran, ketulusan, dan kesederhanaan. Karena hal, seluruh komponen bangsa ini membutuhkan dan merindukannya. Beliau juga diterima semua kalangan, baik muslim maupun nonmuslim
KH. Moh Ilyas Ruchiyat lahir pada 12 Rabiul Awal 1352 H/31 Januari 1934. Dalam karirnya, ia tercatat pernah menjabat Rois Syuriyah PB NU periode 1994-1999, di masa KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat Ketua Tanfidizyah PBNU. Ketika terjadi rebut-ribut antara Gus Dur dengan pamannya, KH. Yusuf Hasyim dan KH. Ali Yafie, saat Munas NU di Lampung 1992, Ajengan Ilyas lah yang berposisi sebagai penengah, demikian tulis gusdur.net.
Berikut tulisan mas ulil tentang kiai kharismatik tersebut yang saya dapatkan di milis kmnu2000. Saya husnuz-zan, bahwa Kiai Ilyas Ruhiyat adalah “min ahlil jannah”. Semoga pembawaan Kiai Ilyas yang lembut, akomodatif, toleran, dan mengayomi semua pihak ini bisa menjadi teladan bagi kita semua, baik di dalam atau di luar NU, terutama di saat-saat ketika toleransi sebagai ide dan praktek dikutuk dan dimusuhi seperti sekarang ini.
Meski tak dikenal sebagai kiai yang banyak menulis, melontarkan pendapat di media, atau sering menyampaikan “prefarat” dalam seminar-seminar dan konferensi, Kiai Ilyas adalah sebuah “mazhab”, jika saya boleh agak sedikit “takalluf” dan “superlatif” (mubalaghah) . Gaya kekiaian Kiai Ilyas adalah salah satu di antara corak kekiaian yang berkembang dalam tubuh NU.
Pesantren Cipasung yang diasuh oleh Kiai Ilyas, menurut saya, adalah merupakan contoh pelaksanaan dari prinsip yang dikenal dan dihayati dalam NU, “al-muhafazah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdhu bi ‘l-jadid al-aslah”, memelihara yang lama yang baik, menyerap yang baru yang lebih baik.
Saya mengenal pesantren Cipasung pertama kali awal  80an sebagai salah satu pesantren yang bekerjasama dengan LP3ES (kemudian dilanjutkan oleh P3M) untuk pengembangan masyarakat (bahasa yang dipakai saat itu adalah “community development” ), bersama-sama dengan pesantren lain seperti Maslakul Huda asuhan Kiai Sahal Mahfudz, Pesantren Tebuireng asuhan (saat itu) alm.  Kiai Yusuf Hasyim, Pesantren Pabelan asuhan Kiai Hamam Ja’far, dan pesantren Asy-Syafi’iyah.
Ide “pengembangan masyarakat” saat itu bermula dari gagasan kalangan “intelektual kota” yang sedang asyik dengan kritik atas teori pembangunan untuk menjadikan
pesantren sebagai eksperimen untuk model pembangunan alternatif yang “bottom up”, bukan “up-to-bottom” gaya Suharto.
Tidak semua pesantren menerima gagasan ini dan dijadikan sebagai proyek percontohan untuk “kritik pembangunanisme” ini. Sebagian kiai mencurigai proyek ini sebagai “proyek Yahudi” yang berbahaya. Bersama sejumlah kiai lain, Kiai Ilyas menerima inisiatif ini
dengan tangan terbuka, tanpa kecurigaan yang berlebihan. Proyek rintisan LP3ES tidak semua berhasil. Yang paling tahan lama hanyalah percontohan yang ada di tiga pesantren: Kajen, Tebuireng dan Cipasung. Sekarang, yang tersisa hanya dua: Kajen dan Cipasung.
Keberhasilan ini tak lepas dari dukungan moral dan intelektual dari kiai-kiai semacam Kiai Sahal dan Kiai Ilyas itu. Dari proyek inilah lahir sejumlah “santri-aktivis” yang menjembatani pesantren sebagai lemabaga “tafaqquh fil al-din” (istilah yang sering dipakai oleh Kiai Sahal) dan masyarakat.
Dari Cipasung lahir santri-aktivis yang sudah saya kenal sejak lama, Kang Tatang. Dari Kajen, lahir orang-orang seperti alm. Pak Masykur Maskub. Dari Tebuireng, lahir orang seperti Nas Sodri Nashori (yang sekarang masih aktif di P3M) dan Mas Mufid A. Busyairi
(sekarang anggota DPR dari PKB). Dari Assyafiiyyah, Jatiwaringin, lahir orang-orang seperti Mansour Fakih (yang memperkenalkan dengan gigih gagasan “pendidikan- sebagai-penyadar an” a la Paulo Freire) dan Budhy Munawar Rachman.
Saya adalah santri yang sedang tumbuh dan bergairah berkenalan dengan ide-ide baru pada periode itu. Lahirnya pusat-pusat pengembangan pesantren pada awal 80an itu memberikan saya kesempatan untuk berkenalan dengan gagasan-gagasan “sekuler” yang datang dari kota. Pak Masykur Maskub, yang saat itu menjadi guru di madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, sambil mengelola pusat pengembangan masyarakat di  pesantrennya Kiai Sahal, memperkenalkan kepada saya sejumlah buku dan jurnal Prisma terbitan LP3ES.
Dari LP3ES pula lahir majalah “Pesan” (singkatan dari “Pesantren”) yang banyak memuat contoh-contoh sukses proyek pengembangan masyarakat melalaui pesantren.
Majalah yang antara lain dikelola oleh Mas Hadimulyo (sekarang aktif di PPP) ini saya baca dengan penuh minat saat saya masih menjadi santri di Kajen dulu.
Pada suatu pagi yang cerah, matahari berbinar-binar di ufuk timur (ini bukan hiperbola, tetapi penggambaran harafiah), saya membaca majalah Pesan dan menemukan puisi-puisi Acep Zamzam Noor, putera dari Kiai Ilyas yang saat itu masih kuliah di ITB.
Pada edisi yang saya baca itu, antologi puisi Kang Acep, “Tamparlah Mukaku”, sedang  diresensi. Sejumlah puisi Kang Acep juga dimuat di sana. Sebagai santri pedusunan, terus terang saya tak paham semua yang ditulis Kang Acep. Saya hanya terpana berhadapan
dengan susunan kalimat yang aneh dalam puisi itu. Hingga sekarang, saya termasuk penggemar puisi-puisi Kang Acep, terutama puisi-puisi yang ia gubah saat melancong ke Itali (beberapa dimuat di jurnal Kalam).
Saya juga menyukai sejumlah lukisan Kang Acep. Beberapa di antaranya saya lihat di ruang tamu kediaman Kiai Ilyas di Cpasung (saya lihat saat saya ikut menjadi “romli” [rombongan liar] pada Muktamar NU ke-29 di Cipasung, Desember 1994).  Beberapa lukisannya yang lain saya lihat di rumah Sitok Srengenge di Depok.
Suasana pesantren selepas Muktamar NU ke-27 yang ingar-bingar saat itu, hingga muktamar yang ke-29 di Cipasung, adalah suasana penuh antusiasme menyambut
ide-ide baru. Pada periode itulah saya tumbuh sebagai seorang santri “ndeso” di sudut desa Kajen, Pati. Pada saat itulah, saya mulai berkenalan dengan ide-ide Gus Dur, Cak Nur, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Sutjipto Wirosardjono, Jalaluddin Rakhmat, Masdar, Aswab Mahasin, MM Billah, Nasihin Hasan, Hadimulyo, Mansour Fakih.
Nama-nama itu saya kenal entah lewat majalah Prisma, Pesan, atau Pesantren (diterbitkan oleh P3M beberapa saat setelah muktamar di Situbondo), atau majalah
Tempo. Pada saat itu, terbit sebuah majalah yang sudah dilupakan banyak orang saat ini, yakni majalah Nuansa. Majalah yang sangat baik ini terbit hanya satu edisi, dan dalam edisi yang hanya satu-satunya itulah diulas dengan cukup kritis ide negara Islam yang saat itu masih cukup kuat berkembang di kalangan aktivis masjid kampus (antara lain Masjid Salman, Bandung). Pada edisi itulah saya membaca kritik atas konsep negara
Islam-nya Maududi yang ditulis oleh Pak Djohan Effend (saya lupa persisnya: kalau tidak Pak Djohan ya Mas Dawam Rahardjo).
Dengan kata lain, saya mengenang Kiai Ilyas sebagai salah satu kiai yang menjadi bagian penting dari periode “keterbukaan” dan antusiasme menerima ide-ide baru itu.
Saat ini, bandul pesantren sudah berubah. Tampaknya saat ini kecenderungan yang lebih menonjol di beberapa pesantren adalah keengganan, atau bahkan kecurigaan, pada gagasan baru. Sebagaimana setiap buah memiliki musimnya masing-masing, begitu pula periode keterbukaan itu juga memiliki musimnya sendiri. Musim itu, kini, tampaknya sedang berlalu, digantikan oleh musim yang lain.
Saya kangen pada musim keterbukaan itu…

Allahumma ighfir li Kiai Ilyas war hamhu wa ‘afihi
wa’fu ‘anhu. Allahumma ij’al manqubatahu ma’tsaratan min ma’atsiri
Nahdlatil Ulama’.

0 komentar:

Posting Komentar

search term: hp keren nokia-siemens-motorola-sony samsung-lg-zyrex-acer samsung lgzyr exacer nokia siemens motorola sony free games phoncell free fun phoncell samsung lg zyrex acer nokiasiemensmotorolasony free cell phone theme nokia cell phone theme motorola cell phone theme sony ericsson cell phone theme nokia motorola sony free game game mobile free game cellphone free game ponsel free game java free game hape free game phonecell nokia free game motorola free game javascript free cell phone game free game pokemon free download game hp cell phone games mobile cell phone game free download koleksi-hp cell phone theme free free game ponsel

Silakan diShare ke teman yang lain....

 
Bloggerized by Bahrudin|Online