tag:blogger.com,1999:blog-79520774143466199862024-02-20T23:15:24.966+07:00blog resmiUnknownnoreply@blogger.comBlogger9125tag:blogger.com,1999:blog-7952077414346619986.post-42011988673832090092010-05-27T21:24:00.000+07:002010-05-27T21:24:17.106+07:00KH. Moch. Ilyas Ruchiyat [Ajengan Santun dari Cipasung]<span style="font-size: small;"></span><div style="text-align: justify;"> <em><img align="left" alt="KH. Ilyas Ruchiyat" height="136" src="http://gazali.files.wordpress.com/2007/12/ilyas-ruhiyat-sbp.thumbnail.jpg?w=101&h=136" style="height: 153px; width: 110px;" width="101" /></em> <span style="font-size: small;">Dalam khazanah budaya Sunda, dikenal adanya tiga pembagian kekuasaan yang setara dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ketiga lembaga kekuasaan itu menyatu dan saling mendukung. Kekuasaan yang dihormati adalah kekuasaan rohaniah yang disebut resi. Kekuasaan kedua disebut ratu, yakni pihak eksekutif yang memerintah ketiga kampung kekuasaan. Dalam bahasa yang lebih primordinal disebut negara. Dan alamat ketiga adalah rama yang tak lain adalah rakyat, yang lembaganya mengurusi keamanan dan pertahanan ketiga kesatuan tripartit kampung. Dengan demikian, ketiga lembaga memiliki pucuk pimpinan atau jawaranya sendiri-</span></div><div style="text-align: justify;"><a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> sendiri, yakni jawara rohaniah, jawara eksekutif, dan jawara silat.<br />
<br />
Sosok kharismatik ajengan Cipasung Tasimalaya yang dibedah biografinya dalam buku ini tak lain adalah sosok resi yang telah mensenyawakan dirinya dan mentalitas spiritualitas Islam secara natural dengan mentalitas budaya Sundanya di Cipasung. Dia bernama KH Moh Iyas Ruhiat. Dilahirkjan hari Ahad, 12 Rabiul Awwal 1352 H/31 Januari 1934. Namanya sebagai tafa’ul terhadap tokoh muda pesantren yang tengah naik daun saat itu, KH Muhammad Ilyas, yang pernah menjabat Menteri Agama dalam tiga periode (h. 37). Sejak kecil sampai dewasa, Endang Ilyas (anak kiai diseputar Tasikmalaya lazim dipanggil Endang), dididk oleh orang tuanya sendiri. Ajengan Ruhiat, bapak Endang Ilyas, adalah perintis pesantren Cipasung. Ajengan Ruhiat termasuk pelopor masyarakat Tasimalaya dalam menghadang imperialisme penjajahan Belanda, sehingga pada 17 November 1941 beliau ditangkap dan ditahan bersama ulama terkemuka, KH Zainal Musthofa di Penjara Sukamiskin dan dibebaskan 10 Januari 1942 (h. 29). Kegigihan sang ayah, sekaligus guru yang paling disegani Endang Ilyas, inilah yang menjadi spirit Ilyas untuk terus belajar secara tekun dan selalu bersikap tegar yang nantinya mampu menjadi modal memperjuangkan masyarakat Cipasung.<br />
<br />
Kecerdasan dan ketegarannya membuat orang tuanya bangga, sehingga ketika sang Ayah merasa sakitnya parah, Endang Ilyas langsung dibai’at oleh ayahanda sebagai penerus kepemimpinan pesantren Cipasung. Ditangan Moh Ilyas, Cipasung sejak tahun 1980-an sampai sekarang menjadi pesantren besar yang penuh prestasi. Terlebih ketika Ajengan Ilyas terpilih sebagai pelaksana harian Rais Aam PBNU yang ditinggalkan KH Ahmad Siddiq dalam Munas Lampung tahun 1992. Dan kemudian beliau terpilih kembali sebagai Rais Aam PBNU dalam Muktamar XXIX tahun 1994 di pesantrennya sendiri, Cipasung. Kesuksesan Ajengan Ilyas menjadi Rais Aam PBNU membuktikan akan teguhnya beliau sebagai seorang resi. Dan beliau sampai saat ini, adalah satu-satunya orang Sunda yang pernah menduduki posisi Rais Aam. Karena dalam kepemimpinan NU, jabatan Rais Aam selalu diisi orang Jawa. Dan perlu dicatat, Rais Aam bukanlah sekedar jabatan. Yang terpilih (bukan dipilih) adalah mereka yang kharismatik dan benar-benar menjadi panutan ummat. Sebut saja mislanya KH Hasyim Asy’ari, KH A. Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Sansuri.<br />
<br />
Sosok resi yang melekat dalam diri Ajengan Ilyas sangat dirasakan oleh seluruh warga NU dan pesantren. Beliaulah yang menjadi siger tengah (tokoh moderat) dalam konflik elite NU di Munas Lampung 1992. Waktu itu, Gus Dur berseteru dengan pamannya sendiri, KH Yusuf Hasyim, dan KH Ali Yafie. Pada Muktamar Cipasung tahun 1994, ketika Gus Dur dan Abu Hika warga NU sedang bergairah era reformasi, beliau juga merestui lahirnya PKB yang kemudian mengantarkan Gus Dur sebagai Presiden ke-4 RI. Sampai sekarang, walaupun kondisi fisik beliau sudah sangat lemah, ketika warga NU diterpa godaan politik yang menggoyahkan Khittah 1926, beliau tetap bersungguh-sungguh mempertahankan Khittah yang diwariskan para sesepuh NU.<br />
<br />
Totalitas perjuangan Ajengan Ilyas dalam NU sangatlah besar dan dikagumi warga NU. Tidak hanya warga NU, tetapi seluruh bangsa. Karena di Jawa Barat beliau juga sering memelopori dialog lintas agama dan linta sektoral. Beliau selalu menggandeng Muhammadiyah dalam persoalan umat Islam. Dalam pluralitas keberagamaan, beliau selalu menggendeng para pemuka agama Indonesia, termasuk ikut masuk dan berceramah di pesantrennya. Walaupun demikian, beliau tetap santun dan rendah diri. Menduduki posisi tertinggi di NU, beliau tetap tinggal di Cipasung. Karena baginya, Ilyas dan Cipasung bagai biji yang tumbuh ditanahnya sendiri.</span><br />
<br />
<b><span style="font-size: 13pt;">“Kawin Emas” Kiai Ilyas Ruhiyat: Istri Pertamanya, Pesantren</span></b><br />
<span style="font-size: 13pt;"> </span><span style="font-size: small;"> </span><br />
Keberhasilan membina rumah tangga, telah mengantarkan sosok Kiai Ilyas menjadi panutan. Menjadi tokoh nasional, dengan serangkaian jabatan amanah melekat pada dirinya. Hal yang membahagiakan pasangan ini, juga karena mereka telah berhasil mengantarkan anak-anaknya sukses dalam bidang pendidikan. Si cikal Acep Zamzam Noor jebolan ITB, juga pernah dua tahun menimba ilmu di Italia, lebih dikenal sebagai seniman. Anak keduanya, Ida Nurhalida meraih master di UPI Bandung, dan si bungsu Enung Nursaidah Rahayu juga master pendidikan biologi. "Hal yang menggembirakan, semua anak-anak kami setelah selesai sekolah, sekarang kumpul kembali di Cipasung," kata Nyonya Dedeh. <br />
<br />
Nama Kiai Ilyas dengan daerah Cipasung sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Prof Jokob Sumardjo, guru besar STSI Bandung, bagai biji yang tumbuh di tanahnya sendiri. Ia tidak pernah meninggalkan kampung itu sehingga Cipasung identik dengan Kiai Ilyas. <br />
<br />
Ilyas kecil memang lahir di Cipasung, tanggal 13 Januari 1934. Ayahnya adalah ulama besar di Tasikmalaya, K.H. Ruhiat, dan ibunya Aisyah. Kiai Ruhiat berusaha meminta anaknya yang satu ini agar bisa menghafal semua kitab, agar bisa menjawab semua persoalan. Selain ngaji ke ayahnya, Ilyas sering juga mengikuti pengajian Kiai Saefulmillah, Abdul Jabar, Ustaz Bahrum. <br />
<br />
Ilyas ingin meneruskan ke Mesir, belajar di Universitas al-Azhar. Tapi, semua itu harus disimpan dalam kenangan. Karena saat usainya ke 22 tahun, Ilyas diminta untuk menikah dengan Dedeh, putra ajengan K.H. Mapruh, asal Rancapaku. <br />
<br />
Kiai Mapruh ini adalah teman Kiai Ruhiat, sewaktu aktif di NU. Dedeh, kelahiran 6 April 1942, waktu itu baru lulus SD. Dedeh juga ingin melanjutkan sekolah. Tapi, karena satu sama lain menghormati serta patuh kepada orang tuanya, mereka menikah tepat pada tanggal 14 Juli 1956. <br />
<br />
"Saya sebelumnya tidak kenal dengan Apih (Kiai Ilyas-red), hanya tahu saja sering datang memberikan ceramah. Makanya, kaget juga ketika tahu dijodohkan dengan Apih ini," kata Hj. Dedeh. <br />
<br />
Hal yang mengharukan, selama menikah tidak pernah Ilyas memarahi istrinya. "Selama 50 tahun hidup bersama, Apih ini tidak pernah membentak, atau memaki saya. Apih sayang sekali kepada kita, sabar serta penuh perhatian kepada kami atau kepada anak-anak. Selalu menghargai sikap saya, juga mengayomi, " ujarnya. <br />
<br />
Kiai Ilyas Ruhiyat sendiri pada tahun 1990-an menjadi ulama NU yang sangat disegani di tingkat nasional. Pada Muktamar NU tahun 1995 di Cipasung, Tasikmalaya, Kiai Ilyas mendapat amanah untuk memimpin NU bersama Gus Dur. Pada masa itu, Kiai Ilyas mampu membawa NU melewati masa-masa sulit karena menolak intervensi Orde Baru. Kiai Ilyas pernah menolak permintaan pemerintah yang memohon kesediaannya menjadi anggota MPR. Independensi NU saat itu tidak lepas dari peranan Kiai Ilyas sebagai Rais Aam PBNU. <br />
<br />
Kesibukannya mengajar, ceramah dan mengurus NU itulah yang menyebabkan Kiai Ilyas sering meninggalkan istrinya, Hj. Dedeh. Kadang ia merasa jadi istri yang ketiga. Istri pertamanya, pesantren, kedua NU. Selamat ulang tahun pernikahan ke 50 Pak Kiai!<br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;"><b>Selamat Jalan Kyia kami....... </b></span><br />
<br />
<em>Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…</em>Tokoh besar NU telah meninggalkan kita. Beliau dipanggil pulang Yang Maha Kuasa, Selasa (18/12/2007) sore pukul 16.15 WIB dalam usia 73 tahun. Beliau adalah sosok hadir yang di panggung nasional dengan kejujuran, ketulusan, dan kesederhanaan. Karena hal, seluruh komponen bangsa ini membutuhkan dan merindukannya. Beliau juga diterima semua kalangan, baik muslim maupun nonmuslim<span id="more-195"></span> <br />
<div align="justify" class="style1">KH. Moh Ilyas Ruchiyat lahir pada 12 Rabiul Awal 1352 H/31 Januari 1934. Dalam karirnya, ia tercatat pernah menjabat Rois Syuriyah PB NU periode 1994-1999, di masa KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat Ketua Tanfidizyah PBNU. Ketika terjadi rebut-ribut antara Gus Dur dengan pamannya, KH. Yusuf Hasyim dan KH. Ali Yafie, saat Munas NU di Lampung 1992, Ajengan Ilyas lah yang berposisi sebagai penengah, demikian tulis gusdur.net.</div><div align="justify" class="style1">Berikut tulisan mas ulil tentang kiai kharismatik tersebut yang saya dapatkan di milis kmnu2000. Saya husnuz-zan, bahwa Kiai Ilyas Ruhiyat adalah “min ahlil jannah”. Semoga pembawaan Kiai Ilyas yang lembut, akomodatif, toleran, dan mengayomi semua pihak ini bisa menjadi teladan bagi kita semua, baik di dalam atau di luar NU, terutama di saat-saat ketika toleransi sebagai ide dan praktek dikutuk dan dimusuhi seperti sekarang ini.</div>Meski tak dikenal sebagai kiai yang banyak menulis, melontarkan pendapat di media, atau sering menyampaikan “prefarat” dalam seminar-seminar dan konferensi, Kiai Ilyas adalah sebuah “mazhab”, jika saya boleh agak sedikit “takalluf” dan “superlatif” (mubalaghah) . Gaya kekiaian Kiai Ilyas adalah salah satu di antara corak kekiaian yang berkembang dalam tubuh NU.<br />
Pesantren Cipasung yang diasuh oleh Kiai Ilyas, menurut saya, adalah merupakan contoh pelaksanaan dari prinsip yang dikenal dan dihayati dalam NU, “al-muhafazah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdhu bi ‘l-jadid al-aslah”, memelihara yang lama yang baik, menyerap yang baru yang lebih baik.<br />
Saya mengenal pesantren Cipasung pertama kali awal 80an sebagai salah satu pesantren yang bekerjasama dengan LP3ES (kemudian dilanjutkan oleh P3M) untuk pengembangan masyarakat (bahasa yang dipakai saat itu adalah “community development” ), bersama-sama dengan pesantren lain seperti Maslakul Huda asuhan Kiai Sahal Mahfudz, Pesantren Tebuireng asuhan (saat itu) alm. Kiai Yusuf Hasyim, Pesantren Pabelan asuhan Kiai Hamam Ja’far, dan pesantren Asy-Syafi’iyah.<br />
Ide “pengembangan masyarakat” saat itu bermula dari gagasan kalangan “intelektual kota” yang sedang asyik dengan kritik atas teori pembangunan untuk menjadikan<br />
pesantren sebagai eksperimen untuk model pembangunan alternatif yang “bottom up”, bukan “up-to-bottom” gaya Suharto.<br />
Tidak semua pesantren menerima gagasan ini dan dijadikan sebagai proyek percontohan untuk “kritik pembangunanisme” ini. Sebagian kiai mencurigai proyek ini sebagai “proyek Yahudi” yang berbahaya. Bersama sejumlah kiai lain, Kiai Ilyas menerima inisiatif ini<br />
dengan tangan terbuka, tanpa kecurigaan yang berlebihan. Proyek rintisan LP3ES tidak semua berhasil. Yang paling tahan lama hanyalah percontohan yang ada di tiga pesantren: Kajen, Tebuireng dan Cipasung. Sekarang, yang tersisa hanya dua: Kajen dan Cipasung.<br />
Keberhasilan ini tak lepas dari dukungan moral dan intelektual dari kiai-kiai semacam Kiai Sahal dan Kiai Ilyas itu. Dari proyek inilah lahir sejumlah “santri-aktivis” yang menjembatani pesantren sebagai lemabaga “<em>tafaqquh fil al-din”</em> (istilah yang sering dipakai oleh Kiai Sahal) dan masyarakat.<br />
Dari Cipasung lahir santri-aktivis yang sudah saya kenal sejak lama, Kang Tatang. Dari Kajen, lahir orang-orang seperti alm. Pak Masykur Maskub. Dari Tebuireng, lahir orang seperti Nas Sodri Nashori (yang sekarang masih aktif di P3M) dan Mas Mufid A. Busyairi<br />
(sekarang anggota DPR dari PKB). Dari Assyafiiyyah, Jatiwaringin, lahir orang-orang seperti Mansour Fakih (yang memperkenalkan dengan gigih gagasan “pendidikan- sebagai-penyadar an” a la <span class="yshortcuts" style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204);">Paulo Freire</span>) dan Budhy Munawar Rachman.<br />
Saya adalah santri yang sedang tumbuh dan bergairah berkenalan dengan ide-ide baru pada periode itu. Lahirnya pusat-pusat pengembangan pesantren pada awal 80an itu memberikan saya kesempatan untuk berkenalan dengan gagasan-gagasan “sekuler” yang datang dari kota. Pak Masykur Maskub, yang saat itu menjadi guru di madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, sambil mengelola pusat pengembangan masyarakat di pesantrennya Kiai Sahal, memperkenalkan kepada saya sejumlah buku dan jurnal Prisma terbitan LP3ES.<br />
Dari LP3ES pula lahir majalah “Pesan” (singkatan dari “Pesantren”) yang banyak memuat contoh-contoh sukses proyek pengembangan masyarakat melalaui pesantren.<br />
Majalah yang antara lain dikelola oleh Mas Hadimulyo (sekarang aktif di PPP) ini saya baca dengan penuh minat saat saya masih menjadi santri di Kajen dulu.<br />
Pada suatu pagi yang cerah, matahari berbinar-binar di ufuk timur (ini bukan hiperbola, tetapi penggambaran harafiah), saya membaca majalah Pesan dan menemukan puisi-puisi Acep Zamzam Noor, putera dari Kiai Ilyas yang saat itu masih kuliah di ITB.<br />
Pada edisi yang saya baca itu, antologi puisi Kang Acep, “Tamparlah Mukaku”, sedang diresensi. Sejumlah puisi Kang Acep juga dimuat di sana. Sebagai santri pedusunan, terus terang saya tak paham semua yang ditulis Kang Acep. Saya hanya terpana berhadapan<br />
dengan susunan kalimat yang aneh dalam puisi itu. Hingga sekarang, saya termasuk penggemar puisi-puisi Kang Acep, terutama puisi-puisi yang ia gubah saat melancong ke Itali (beberapa dimuat di jurnal Kalam).<br />
Saya juga menyukai sejumlah lukisan Kang Acep. Beberapa di antaranya saya lihat di ruang tamu kediaman Kiai Ilyas di Cpasung (saya lihat saat saya ikut menjadi “romli” [rombongan liar] pada Muktamar NU ke-29 di Cipasung, Desember 1994). Beberapa lukisannya yang lain saya lihat di rumah Sitok Srengenge di Depok.<br />
Suasana pesantren selepas Muktamar NU ke-27 yang ingar-bingar saat itu, hingga muktamar yang ke-29 di Cipasung, adalah suasana penuh antusiasme menyambut<br />
ide-ide baru. Pada periode itulah saya tumbuh sebagai seorang santri “ndeso” di sudut desa Kajen, Pati. Pada saat itulah, saya mulai berkenalan dengan ide-ide Gus Dur, Cak Nur, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Sutjipto Wirosardjono, Jalaluddin Rakhmat, Masdar, Aswab Mahasin, MM Billah, Nasihin Hasan, Hadimulyo, Mansour Fakih.<br />
Nama-nama itu saya kenal entah lewat majalah Prisma, Pesan, atau Pesantren (diterbitkan oleh P3M beberapa saat setelah muktamar di Situbondo), atau majalah<br />
Tempo. Pada saat itu, terbit sebuah majalah yang sudah dilupakan banyak orang saat ini, yakni majalah Nuansa. Majalah yang sangat baik ini terbit hanya satu edisi, dan dalam edisi yang hanya satu-satunya itulah diulas dengan cukup kritis ide negara Islam yang saat itu masih cukup kuat berkembang di kalangan aktivis masjid kampus (antara lain Masjid Salman, <span class="yshortcuts" style="border-bottom: 1px dashed rgb(0, 102, 204);">Bandung</span>). Pada edisi itulah saya membaca kritik atas konsep negara<br />
Islam-nya Maududi yang ditulis oleh Pak Djohan Effend (saya lupa persisnya: kalau tidak Pak Djohan ya Mas Dawam Rahardjo).<br />
Dengan kata lain, saya mengenang Kiai Ilyas sebagai salah satu kiai yang menjadi bagian penting dari periode “keterbukaan” dan antusiasme menerima ide-ide baru itu.<br />
Saat ini, bandul pesantren sudah berubah. Tampaknya saat ini kecenderungan yang lebih menonjol di beberapa pesantren adalah keengganan, atau bahkan kecurigaan, pada gagasan baru. Sebagaimana setiap buah memiliki musimnya masing-masing, begitu pula periode keterbukaan itu juga memiliki musimnya sendiri. Musim itu, kini, tampaknya sedang berlalu, digantikan oleh musim yang lain.<br />
Saya kangen pada musim keterbukaan itu…<br />
<br />
<em>Allahumma ighfir li Kiai Ilyas war hamhu wa ‘afihi<br />
wa’fu ‘anhu. Allahumma ij’al manqubatahu ma’tsaratan min ma’atsiri<br />
Nahdlatil Ulama’.</em></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7952077414346619986.post-10638689240334346142010-05-27T20:39:00.000+07:002010-05-27T20:39:39.199+07:00readmore<span style="font-size: small;">ninnis sjhdkhsdas dsajdaskdj</span><br />
<div style="text-align: justify;"><a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Msdsadsadasg yang tinggi untuk msdasdassdadasda adsadas.</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7952077414346619986.post-47704163801171142072010-05-27T20:24:00.004+07:002010-05-27T20:49:39.461+07:00Penjelasan tentang WahidiyahTulisan ini, dikutip tanpa ada penambahan dan pengurangan dari buku <i>Polaritas Sektarian: Rekonstruksi Doktrin Pinggiran"</i>, sebuah buku hasil kajian siswa <i>mutakharijin</i> tahun 2007 Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.<br />
Imam Syafi'i menyatakan bahwa adab orang yang bermadzhab adalah:<br />
<blockquote>Meyakini bahwa pendapatnya yang paling benar tetapi mungkin salah dan pendapat orang lain salah tapi mungkin benar. </blockquote>Dengan adab ini kita tidak akan <i>taasub</i> /fanatis dengan kelompok kita, dan membuka diri dari koreksi madzhab lain. Karena itu, tulisan ini tidak dalam porsi mencaci atau semacamnya. Tetapi hanya sebagai pengukuh kebenaran menurut kacamata pendapat kami yang mungkin salah. Kami juga berharap pembaca yang tidak<br />
<div style="text-align: justify;"><a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> </span>setuju khususnya para pengamal Wahidiyah, menggunakan tulisan ini sebagai media <i>muhasabah</i>, introspeksi diri, antara mengukuhkan pendapat atau merekonstruksi kembali pemahaman yang benar.</div>Pandangan tentang Wahidiyah, juga bukan serta merta menunjukkan kebencian pada shalawat, karena shalawat tidak identik dengan Wahidiyah. Pondok Pesantren Nurul Huda secara istiqamah juga menyelenggarakan pembacaan shalawat, sebagai perwujudan menjalankan perintah al Quran. Pandangan Pesantren Kami atas amalan Wahidiyah hanyalah sebagai koreksi atas 'cara baca'dan 'cara pandang' atas shalawat itu sendiri.<br />
Jawaban Kyai Masduqi atas pertanyaan warga Nahdliyin di majalah Aula beberapa tahun yang lalu (yang kemudian dimuat kembali dalam web ini), disamping berdasar koreksi 'cara baca' juga berdasar 'dialog langsung dengan Kyai Abdul Majid sang pendiri' karena kebetulan, sebenarnya ketika shalawat Wahidiyah pertama kali diperkenalkan, Kyai Masduqi sempat mengantar Kyai Abdul Majid ke beberapa tempat di Malang. Namun setelah melihat ada beberapa hal yang dinilai kurang pas, Kyai Masduqi tidak lagi bersedia memfasilitasi.<br />
Semoga tulisan ini tidak dinilai sebagai bahasa permusuhan tetapi lebih pada pengamalan ayat <i>fa dzakkir fainna dzikra tanfa' almu'minin.</i> Amin<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=7952077414346619986&postID=4770416380117114207" name="TOC0"></a><br />
<h3><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_1"></a>Mengenal Wahidiyah</h3>Di Kediri, tepatnya sebelah barat sungai Brantas terdapat sebuah pesantren Kedunglo. Pesantren ini didirikan tahun 1901 oleh <span class="caps">KH.</span> Muhammad Ma'roef. Kiai Ma'roef pernah mengenyam pendidikan di pesantren Bangkalan Madura pimpinan <span class="caps">KH.</span> M. Kholil. <span class="caps">KH.</span> Ma'roef wafat tahun 1955 dan kepemimpinan pesantren dilanjutkan salah satu anaknya, <span class="caps">KH.</span> Abdul Madjid.<br />
<span class="caps">KH.</span> Abdul Madjid lebih memfokuskan diri pada bidang tasawuf dengan mendalami kitab Al-Hikam. Menurut <span class="caps">KH.</span> Abdul Madjid tasawuf tidak hanya merupakan bahasa ilmiah, melainkan terapan kehidupan untuk menggapai makrifat Allah. <span class="caps">KH.</span> Abdul Madjid inilah pendiri sekaligus maestro sholawat Wahidiyah. Setelah <span class="caps">KH.</span> Abdul Madjid meninggal, usaha pengembangan tasawuf Wahidiyah dilanjutkan oleh <span class="caps">KH.</span> Abdul Latif Madjid.<br />
Pada masa kepemimpinan <span class="caps">KH.</span> Abdul Latif Madjid inilah, popularitas pesantren Kedunglo semakin menanjak terutama terkait dengan ajaran sholawat yang terus mereka sebarkan sejak awal tahun 1964.<br />
Berdasarkan catatan Republika, pengamal sholawat tersebut saat ini tidak terbatas di kalangan santri pesantren, tapi masyarakat luas dan jumlahnya telah mencapai puluhan ribu orang. Para pengamal ini tiap tahun berkumpul di Kedunglo untuk memperingati 1 Muharram dan Maulid Nabi serta mengadakan Mujahadah Qubro.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn1">1</a></sup> <br />
<h3><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_2"></a>Definisi Ajaran Wahidiyah</h3>Yang dimaksud dengan ajaran Wahidiyah adalah Bimbingan praktis lahiriyah dan batiniyah di dalam mengamalkan dan menerapkan tuntunan Rasulullah yang mencakup bidang syariat, bidang hakikat, penerapan iman, pelaksanaan Islam, perwujudan ihsan dan pembentukan moralitas, peningkatan iman menuju kesadaran atau makrifat kepada Allah, pelaksanaan Islam sebagai realisasi dari ketakwaan terhada Allah, perwujudan ihsan sebagai manifestasi dari iman, Islam yang kamil (komprehensif), pembentukan moral untuk mewujudkan akhlaqul karimah, bimbingan praktis lahiriyah dan batiniyah di dalam memanfaatkan potensi lahiriyah yang ditunjang oleh pendayagunaan potensi batiniyah/spiritual yang balans dan serasi.<br />
Menurut mereka, bimbingan praktis Wahidiyah telah meliputi segala bentuk kegiatan hidup dalam hubungan manusia dengan Allah yang disebut dengan hablum mina-Allah, hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat sebagai insan sosial atau hablun minan-Nas <i class="human relations">,</i> hubungan insan dengan keluarga, rumah tangga, dengan bangsa <i>(international public relations)</i> serta hubungan manusia dengan segala makhluk di lingkungan hidup pada umumnya.<br />
Kemudian yang dimaksud dengan sholawat Wahidiyah sendiri adalah seluruh rangkaian amalan yang tertulis dalam lembaran solawat Wahidiyah. Ditambah dengan etika ketika mengamalkan sholawat Wahidiyah seperti <i>lillah, billah, lirrasul, lil ghauts, bil ghaust, istihdlor tadzallul, tadlolul, tadlollum, iftiqor, ta'dzim, mahabbah,</i> dan lain sebagainya.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn2">2</a></sup><br />
Nama Wahidiyah sendiri berasal dari salah satu nama Allah <i>al-a'dzom</i> yaitu <i>Al-Wahidu</i>. Kata <i>al-Wahidu</i> tersebut telah tertuang dalam permulaan sholawat Wahidiyah, <i>“Allahumma ya wahidu ya ahad”</i>.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn3">3</a></sup><br />
<h3><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_3"></a>Perintah Bersholawat</h3>Bukan rahasia lagi bahwa Nabi Muhammad memiliki derajat yang sangat istimewa di sisi Tuhan. Sebab itulah Allah memuji Nabi Muhammad di hadapan para malaikat, lalu para malaikatpun mengucapkan sholawat pada Nabi. Setelah itu Allah memerintahkan pada penduduk bumi untuk membaca sholawat atas Nabi agar pujian sholawat berkumandang dari alam langit dan alam bumi.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn4">4</a></sup> Dalam al-Qur'an disebutkan:<br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">إن الله وملائكته يصلون على النبي ياايها الذين ءامنوا صلوا عليه وسلموا تسليما</div><i>"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersholawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya".</i> (QS. Al-Ahzab: 56)<br />
<br />
Sholawat Allah yang disampaikan pada Nabi berarti rahmat dan ridlo-Nya. Kemudian sholawat dari malaikat berarti mendoakan Nabi dan memohonkan ampun. Sedangkan sholawat dari manusia berarti mendoakan Nabi dan mengagungkan beliau.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn5">5</a></sup><br />
Dalam ayat tersebut Allah menyampaikan kalimat afirmatif <i>"shollu</i> (bersholawatlah kamu)" yang mengindikasikan kewajiban membaca sholawat kepada Nabi Muhammad saw. Kemudian setelah <i>jumhurul fuqoha'</i> melakukan penjelajahan intelektual akhirnya mereka menyimpulkan ada dua hukum dalam membaca sholawat: wajib dan sunnah. Namun mereka belum sepakat mengenai, dalam kondisi yang bagaimanakah sholawat diwajibkan?<br />
Menurut Hanafiyah dan Malikiyah, hukum membaca sholawat pada tasyahud akhir adalah sunnah. Pendapat ini didukung oleh ulama' Madinah, ulama' Kuffah dan beberapa ulama' yang lain. Sedangkan dalam pandangan Hanafiyah dan Malakiyah membaca sholawat pada tasyahud awal bukanlah sesuatu yang <i>masyru'</i>, bahkan jika sholawat itu sengaja dilakukan maka hukumnya makruh dan sholat yang dilakukan harus diulangi. Lalu menurut Hanafiyah jika sholawat tersebut dilakukan karena lupa maka harus melakukan sujud <i>sahwi</i>.<br />
Jadi menurut perspektif mereka sholawat hanya wajib dilakukan sekali selama manusia hidup. Mereka mengatakan, "Seluruh orang yang beriman wajib membaca sholawat minimal sekali seumur hidup, sebab hal itu telah diperintahkan Allah dalam firman-Nya: <br />
<blockquote>'ya ayyuhal ladzina amanuu shollu 'alaihi wa sallimuu taslimaa'. </blockquote>Kemudian menurut ath-Thahawi, kita harus membaca sholawat ketika mendengar nama Nabi disebut.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn6">6</a></sup><br />
Sedangkan menurut Syafi'iyah dan Hanabilah, kita wajib membaca sholawat setiap kali melakukan sholat, tepatnya ketika melakukan tasyahud akhir. Selain itu, sholawat harus juga dibaca ketika takbir kedua daam sholat jenazah, dalam dua khutbah jum'at dan dua khutbah Hari Raya. Selain itu, sholawat tidak diwajibkan.<br />
Kewajiban sholawat dalam tasyahud akhir juga menjadi pendapat para ulama sahabat dan ulama periode setelahnya. Di antara para sahabat adalah Abdullah bin Mas'ud, Abu Mas'ud Al-Badri dan Abdullah bin Umar. Kemudian diantara para tabi'in adalah Abu Ja'far Muhammad bin Ali, Sya'bi serta Muqothil bin Hayyan. Dan di antara ulama madzhab adalah Ishaq bin Rohawaih dan salah satu riwayat Imam Ahmad.<br />
Dalam qoul jadidnya, Imam Syafi'i berpendapat bahwa hukum membaca sholawat ketika tasyahud awal dalam sholat yang berjumlah empat atau tiga rakaat adalah sunnah. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Hubairoh dan Ajurri dari kalangan Hanabilah. Namun, jika sholawat dalam tasyahud awal tersebut ditinggalkan maka tidak akan berpengaruh pada keabsahan sholat. Hanya saja sunnah untuk diganti dengan sujud sahwi.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn7">7</a></sup><br />
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, hukum membaca sholawat adalah sunnah dan merupakan salah satu ibadah yang utama. Keutamaan sholawat sering kali disampaikan oleh Nabi dalam sabda-sabda beliau, diantaranya:<br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">أولى الناس بي يوم القيامة أكثرهم علي صلاة</div><i>"Orang yang paling utama dalam pandanganku kelak pada hari kiamat adalah orang-orang yang paling banyak membaca sholawat padaku."</i><br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا وكتب له بها عشر حسنات</div><i>"Barangsiapa membaca sholawat kepadaku satu kali, maka Allah akan memberinya sepuluh sholawat dan sebab sholawat itu, Allah akan menuliskan sepuluh kebaikan".</i><br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">من صلى علي صلاة واحدة صلى الله عليه عشر صلوات وحط عنه بها عشر سيئات ورفعه بها عشر درجات</div><i>"Barangsiapa membaca sholawat kepadaku satu kali, maka Allah akan memberinya sepuluh sholawat, menghapus sepuluh kejelekan dan meninggikan sepuluh derajat".</i><br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">من صلى علي صلاة واحدة صلى الله عليه عشرا, ومن صلى علي عشرا صلى الله صلى الله عليه مائة, ومن صلى علي مائة كتب الله بين عينيه براءة من النفاق وبراءة من النار وأسكنه يوم القيامة مع الشهداء.</div><i>"Barangsiapa membaca sholawat kepadaku satu kali, maka Allah akan memberinya sepuluh sholawat. Barangsiapa membaca sholawat kepadaku sepuluh kali,maka Allah akan memberinya seratus sholawat. Barangsiapa membaca sholawat kepadaku seratus kali maka Allah akan (memerintahkan untuk) menuliskan di antara kedua mata orang tersebut tulisan: 'terbebas dari munafik dan terbebas dari neraka'. Dan kelak pada hari kiamat, Allah akan menempatkan orang tersebut bersama para syuhada".</i><br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">إن الدعاء موقوف بين السماء والأرض لا يصعد منه شيء حتى تصلي على نبيك صلى الله عليه وسلم</div><i>"Sesungguhnya doa tertahan antara langit dan bumi. Doa tersebut tidak bisa naik sampai engkau membacakan sholawat atas Nabimu Sholaallahu 'alaihi wa sallam".</i><br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">رغم أنف رجل ذكرت عنده فلم يصلل علي</div><i>"Terkudunglah hidung seseorang yang namaku disebut di sisinya dia tidak membaca sholawat kepadaku".</i><br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">لاتجعلوا قبري عيدا وصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني حيث كنتم</div><i>"Janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai tempat perayaan. Bacalah sholawat kepadaku, sesungguhnya sholawat kalian akan sampai kepadaku, di manapun kalian berada".</i><br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">البخيل من ذكرت عنده, فلم يصل علي</div><i>"Orang yang bakhil adalah orang yang namaku disebut di sisinya, kemudian dia tidak membaca sholawat kepadaku".</i><br />
<br />
Kemudian Hadits yang menjelaskan mengenai lafadz sholawat sendiri disebutkan dengan riwayat yang variatif. Namun menurut para sahabat dan ulama pasca sahabat, lafadz sholaat tidak tergantung pada lafadz-lafadz yang <i>manshus</i> saja. Siapapun yang menguasai ilmu bayan, sehingga dia mampu menyampaikan beberapa makna dengan lafadz yang fasih, yaitu lafadz-lafadz yang menunjukkan betapa sempurnanya kemuliaan dan keagungan Nabi, maka dia diperbolehkan sholawat dengan lafadz tersebut. Hujjah yang mereka gunakan adalah Hadits riwayat Abdurrozak, Abd bin Humaid, Ibnu Majah dan Ibnu Marduwaih dari Ibnu Mas'ud: <br />
<blockquote>Sesunggguhnya ia berkata, "ketika kalian mengucapkan sholawat atas Nabi maka perindahlah sholawat kalian. Sesungguhnya kalian tidak tahu, mungkin sholawat tersebut disampaikan pada Nabi. Kemudian para sahabat berkata, "Ajarilah kami!" Ibnu Mas'ud kemudian mengatakan : Ucapkanlah kalimat berikut:</blockquote><div class="arab" style="text-align: right;">اللهم اجعل صلواتك ورحمتك وبركاتك على سيد المرسلين وإمام المتقين وخاتم النبيين محمد عبدك ورسولك إمام الخير وقائد الخير ورسول الرحمة اللهم ابعثه مقاما محمودا يغبطه يه الأولون والآخرون اللهم صل على محمد كما صليت على إبراهيم وآل إبراهيم إنك حميد مجيد.8</div><h3><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_4"></a> </h3><h3>Kejanggalan-Kejanggalan Wahidiyah</h3><h4>Cinta Rasul yang Disalahartikan</h4>Sholawat, menurut Wahidiyah merupakan tanda cinta terhadap Rasul. Barangsiapa mencintai sesuatu pasti dia akan sering menyebutnya, mungkin begitulah prinsip mereka. Bahkan hal ini diakui oleh salah seorang pengamal sholawat Wahidiyah, <br />
<blockquote>"Setelah saya rajin membaca bacaan yang diberikan oleh kawan saya itu, yaitu ya sayyidi ya rasulullah, semenjak itulah ada semacam getaran-getaran yang sangat dahsyat rasa cinta kepada Rasulullah saw".<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn9">9</a></sup> </blockquote>Sekarang mari kita kupas tentang bagaimana sebenarnya cinta Rasul dan bagaimana cara mencintai Rasul?<br />
Mencintai Rasul merupakan salah satu dari pokok keimanan, dan kecintaaan tersebut harus disertai dengan kecintaan pada Allah. Kecintaan pada Allah dan pada Rasul harus menjadi prioritas, melebihi dari kecintaan kita pada orang tua, sahabat, kekasih, harta, tanah air, atau yang lain. Ringkasnya, cinta kita pada Allah dan rasul harus berada di atas segalanya. Dalam Al-Qur'an Allah berfirman;<br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">قل إن كان ءاباؤكم وأبناؤكم وإخوانكم وأزواجكم وعشيرتكم وأموال اقترفتموها وتجارة تخشون كسادها ومساكن ترضونها أحب إليكم من الله ورسوله وجهاد في سبيله فتربصوا حتى يأتي الله بأمره.</div><i>"Katakanlah: 'jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.' Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik".</i> (Q.S. at-Taubah : 24)<br />
<br />
Perintah untuk mencintai Nabi dengan setulus-tulusnya, melebihi segala cinta kita pada apapun, juga disebutkan dalam hadits berikut;<br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">لا يؤمن عبد حتى أكون أحب إليه من أهله وماله والناس أجمعين</div><i>"Seorang hamba tidaklah beriman sampai aku lebih dicintainya daripada keluarganya, hartanya, dan seluruh manusia."</i><br />
<br />
Cinta yang disebutkan dalam hadits tersebut bukanlah cinta yang telah menjadi karakteristik manusia sebagai makhluk pencinta, melainkan cinta yang diusahakan. Contoh dari cinta tabiati (karakteristik) ialah kecintaaan manusia pada dirinya sendiri, siapapun secara naluriah pasti akan mencintai diri sendiri, demikianlah menurut Abu Sulaiman al-Khoththobi. Selanjutnya al-Khoththobi mengatakan, "cintamu kepadaku (Muhammad saw) adalah palsu sampai dirimu sirna, tenggelam dalam ketaatanmu kepadaku, sampai engkau lebih mementingkan keridlaanku daripada kesenangan pribadimu, walaupun untuk itu kau harus mengorbankan nyawamu".<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn10">10</a></sup><br />
Ibnu Baththol dan al-Qodli 'Iyadh mengatakan, "Cinta dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian. <br />
<ul><li>Pertama, cinta mengagungkan seperti rasa cinta anak pada kedua orangtuanya. </li>
<li>Kedua, cinta kasih sayang seperti kecintaan pada anak-anak kita. </li>
<li>Ketiga, cinta karena ada kesesuaian rasa dan karena pesona seperti kecintaan manusia pada umumnya. </li>
</ul>Ketiga jenis cinta ini dapat kita asimilasikan dalam kecintaan pada Rasul".<br />
Selanjutnya Ibnu Baththol mengatakan, "Makna dari hadits di atas ialah seseorang yang memiliki keimanan sempurna maka dia akan tahu bahwa hak Nabi lebih kuat dibandingkan dengan hak orangtua, anak, bahkan seluruh manusia. Sebab dengan lantaran nabi saw kita bisa selamat dari neraka dan mendapatkan secercah petunjuk dari jalan yang sesat". Kemudian al-Qodli 'Iyadl mengatakan, "di antara bukti kecintaan kita pada Nabi adalah ketika kita mau memperjuangkan sunnah-sunnah Nabi dan membela syariat beliau".<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn11">11</a></sup><br />
Dalam sebuah riwayat Umar ra juga pernah mengungkapkan perasaan cintanya pada Nabi, "Wahai Nabi! Engkau lebih aku cintai dari segalanya, kecuali cintaku pada diriku sendiri". Nabi kemudian menolak cinta Umar ra, "Tidak wahai Umar! Sampai aku lebih Engkau cintai daripada dirmu sendiri". Umar ra kemudian mengatakan, "Demi Allah! Sekarang Engkau lebih Aku cintai daripada diriku sendiri". Nabi lantas bersabda, "Sekarang Engkau baru mencintaiku". Kecintaan kita pada diri sendiri, apalagi pada orang lain tidak boleh sampai mengalahkan kecintaan Kita pada Allah dan Rasul.<br />
Setiap cinta harus ada pembuktian, cinta yang tidak disertai dengan bukti adalah bohong. Jika mengaku sebagai pecinta Rasul, lalu apa bukti kecintaan kita? Jangan sampai kita memiliki anggapan kosong, mengira mencintai Nabi, tapi sebenarnya itu tipuan setan belaka, karena ekspresi cinta dalam hati pasti akan tampak dalam perilaku. Oleh karenanya kita harus mengenal dan menguji kecintaan kita dengan memperhatikan beberapa indikasi dan bukti, lalu kembali bertanya, benarkan kita telah mencintai Nabi dengan sepenuh hati? Tanda-tanda cinta ini bisa kita ketahui dari ekspresi lahiriyah karena cinta adalah pohon yang abik, akarnya teguh, dan cabangnya menjulang ke langit, kemudian buahnya akan tampak dalam hati, lisan dan anggota tubuh. Oleh karenanya, perasaan cinta pasti dapat terbaca dari perilaku seseorang. Perilaku merupakan indikator, sebagaimana asap yang menunjukkan keberadaan api, ada asap pasti ada api.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn12">12</a></sup><br />
Pengakuan cinta seseorang bisa dibenarkan ketika perilakunya selalu sama dengan perilaku sang kekasih, sebab cinta adalah mengikuti segala perilaku sang kekasih. Dalam al-Qur'an disebutkan :<br />
<div class="arab">قل ان كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم</div><i>"Katakanlah : 'Jika Kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu".</i> (QS. Al-Imron : 31)<br />
Kita sering mengaku bahwa kita telah mencintai Rasul di atas segalanya. Pengakuan ini dapat kita uji kebenarannya ketika dalam waktu yang sama terjadi pertentangan antara perintah Rasul dan perintah lain yang lebih kita senangi. Jika kita lebih mendahulukan perintah Rasul maka pengakuan cinta tersebut merupakan pengakuan yang benar sebab Dia telah memprirotaskan Nabi di atas yang lain. Namun jika dia menuruti kesenangan pribadi dengan meninggalkan perintah Rasul maka pengakuan tersebut merupakan pengakuan yang dusta.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn13">13</a></sup><br />
Ya! Mengikuti apapun yang dikehendaki oleh kekasih, itulah hakikat cinta. Sehingga ketika kita ingin meraih cinta sejati kepada Rasul, kita harus mengikuti seluruh perintah dan sunnah-sunnah beliau, keudian melakukannya. Tidak cukup hanya dengan menyebut-nyebut nama beliau tetapi bodoh dan tidak mau tahu dengan perintah dan sunnah beliau. Cinta akan lebih berarti jika diekspresikan dengan tindakan, bukan hanya sekedar diucapkan atau mungkin hanya kadang-kadang saja menyebut nama kekasih, sebab cara yang paling tepat untuk mengingat kekasih adalah dengan anggota tubuh, tidak hanya dengan lisan.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn14">14</a></sup><br />
Rasa cinta pada Rasul akan tumbuh ketika kita mengetahui kesempurnaan Nabi, sifat-sifat beliau dan kehebatan syariat yang beliau bawa. Pengetahuan itu sendiri akan timbul ketika kita mengetahui kebesaran Dzat yang telah mengutus Nabi. Sesungguhnya kecintaan pada Allah tidak akan sempurna kecuali dengan mentaati-Nya, dan satu-satunya jalan untuk mentaati Allah adalah dengan cara mengikuti Rasul-Nya.<br />
Karena cinta adalah mengikuti, maka cinta kepada Rasul diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama wajib, yaitu mengikuti kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Nabi, tidak melaksanakan larang-larangan beliau, dan ridlo dengan perintah dan larangan tersebut. Ditambah dengan lapang dada dan berserah diri terhadap seluruh syariat yang dibawa Nabi, tidak bersedia menerima petunjuk selain dari cahaya lentera Nabi, dan tidak mencari kebenaran kecuali dari apa yang telah dibawa oleh Nabi.<br />
Kedua adalah cinta yang bersifat fadlal atau sunnah, yaitu setelah kita mengikuti nabi dalam hal wajib di atas, selanjutnya kita mengikuti perilaku dan etika beliau, mengikuti petunjuk beliau, jalan beliau, menjalin interaksi yang harmonis dengan keluarga dan rekan-rekan Nabi.<br />
Selain itu kita dituntut untuk mengikuti akhlak lahiriyah Nabi, seperti kezuhudan (asketis) beliau terhadap dunia dan kecintaan beliau pada akhirat, kedermawanan beliau, kealtuisan beliau (itsar--mendahulukan orang lain), sifat pengampun beliau, kesabaran beliau, tabah dalam menahan hal-hal yang menyakitkan dan kerendahan hati beliau.<br />
Setelah itu kita juga harus mengikuti akhlak batiniyah Nabi, yaitu kesempurnaan rasa takut beliau pada Allah, cinta beliau pada Allah, kerinduan beliau untuk bertemu Allah, kerelaan hati beliau dengan takdir Allah, hati beliau yang selalu ingat kepada Allah, hati beliau yang tidak pernah mengandalkan beberapa sebab, lisan beliau yang terus-menerus menyebut nama Allah, beliau yang senantiasa bahagia bersama Allah, merasa nikmat ketika sendiri bersama Allah, ketika munajat kepada Allah, ketika berdoa, dan merasa nikmat ketika membaca kitab-Nya sambil tadabbur dan memikirkan setiap ayat yang beliau lantunkan. Kesimpulannya, akhlak Nabi adalah al-Qur'an, beliau meridhoi apa yang diridhoi oleh al-Qur'an dan membenci apa yang dibenci oleh al-Qur'an.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn15">15</a></sup><br />
Setelah kita mengetahui hakikat cinta di atas, kita tidak boleh serta merta menyebut orang-orang yang berteriak histeris sambil menangis ketika menyebut nama Nabi sebagai orang yang mencintai Nabi sepenuh hati. Tetapi kita lihat dulu bagaimana perilakunya sehari-hari, apakah sudah sesuai dengan tuntunan Rasul atau belum? Jangan sampai kita tertipu dengan air mata.<br />
<h4>Wahidiyah Kurang Mengerti Arti Sebuah Tangis</h4>Menangis dan tertawa merupakan salah satu bahasa universal untuk mengungkapkan kesedihan dan bahagia, walaupun manusia tinggal di negara yang berbeda-beda dan memiliki bahasa yang berbeda-beda pula, namun bahasa duka dan bahagia mereka sama, yaitu tangis dan tawa. Namun terkadang ada orang-orang yang menodai kesucian arti sebuah tangisan, mereka bahagia tapi air mata mereka menetes, itulah air mata buaya, sebagaimana tangisan saudara-saudara Nabi Yusuf. Setelah mereka berhasil mencelakakan Yusuf, sore harinya mereka datang menemui sang ayahanda, yaitu Nabi Ya'qub sambil menampakkan raut muka sedih dan menangis:<br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">وجاءوا أباهم عشاء يبكون. قالوا ياءبانا إنا ذهبنا نستبق وتركنا يوسف عند متاعنا فأكله الذئبصلى وما أنت بمؤمن لنا ولو كنا صادقين. وجاءوا على قميصه بدم كذبج قال بل سولت لكم أنفسكم أمرا فصبر جميل والله المستعان على ما تصفون.</div><i>"Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil menangis. Mereka berkata : 'Wahai Ayah Kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lau dia dimakan serigala, dan kamu sekali-kali tidak percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar'. Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya'qub berkata: 'sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (buruk) itu, maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan."</i> (QS. Yusuf : 16-18)<br />
<br />
Tidak semua tangis itu baik, bahkan dari sekian banyak jenis tangis ada tangis yang dilarang, seperti menangisi mayat seolah-olah tidak terima dengan takdir Tuhan. Tangis yang demikian bukan sekedar tangis kasih sayang seperti tangis Nabi ketika putra beliau sayyid Ibrahim wafat, tetapi tangis yang melampaui batas, seolah-olah ingin mendemo Tuhan, sambil berteriak-teriak histeris menyebut jasa-jasa sang mayat, menampar pipi, menyobek-nyobek pakaian dan ekspresi kekecewaan yang lain. Karena ketika tertimpa musibah, baik kematian atau yang lain, yang harus kita lakukan adalah bersabar dan berserah diri pada keputusan Allah. Ratap tangis yang berlebihan telah dilarang oleh Nabi, dalam sebuah hadits beliau bersabda:<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn16">16</a></sup><br />
<div class="arab">فإذا وجب فلا تبكين باكية</div><i>"Ketika kematian menjemput, maka perempuan yang menangis jangan lagi menangis".</i><br />
Selain itu, ada juga jenis tangis yang dianjurkan seperti tangis orang-orang yang merasa takut dengan murka Allah, menyesali atas kenistaan dirinya karena telah banyak melakuakan dosa dan tangis-tangis sejenisnya. Al-Qur'an dan al-Hadits seringkali menyampaikan pujian pada orang-orang yang hatinya lembut dan mudah menitikkan air mata:<br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">ويخرون للأذقان يبكون ويزيدهم خشوعا</div><i>"Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'". (QS. Al-Isra' : 109)</i><br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">أفمن هذا الحديث تعجبون. وتضحكون ولاتبكون</div><i>"Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis?" (QS. An-Najm : 59-60)</i><br />
<br />
Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa suatu hari Nabi meminta Ibnu Mas'ud untuk membacakan al-Qur'an pada beliau. Karena Ibnu Mas'ud merasa kurang pantas membacakan al-Qur'an pada Nabi lalu beliau berkata. "Wahai Rasulullah! Apakah aku pantas membacakan al-Qur'an untukmu, sedangkan al-Qur'an itu diturunkan kepadamu?". Nabi lantas bersabda, "Aku ingin mendengarkan al-Qur'an dari orang lain". Ibnu Mas'ud kemudian membacakan surat an-Nisa', dan ketika ia sampai pada ayat<br />
<br />
<i>"Maka bagaimanakah (halnya dengan orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)."</i> (QS. An-Nisa': 41)<br />
<br />
Nabi tiba-tiba berkata, "Sudah! Sekarang sudah cukup!". Nabi lantas pergi dan aku lihat kedua mata beliau menitikkan air mata.<br />
Dalam sebuah khutbahnya, Nabi juga pernah menyatakan, "Seandainya kalian mengetahui apa yang telah aku ketahui, maka kalian akan sedikit tersenyum dan banyak menangis". Mendengar khutbah itu, para sahabat menutupi muka dan terdengar bunyi sengau tangis dari mereka.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn17">17</a></sup><br />
Di antaranya lagi adalah sabda Nabi:<br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">إن هذا القرأن نزل بحزن, فإذا قرأتموه فابكوا, فإن لم تبكوا فتباكوا</div><i>"Sesungguhnya al-Qur'an ini diturunkan dalam suasana sedih. Ketika engkau membaca al-Qur'an maka menangislah, dan jika kalian tidak bisa menangis maka berusahalah untuk menangis".</i><br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">عينان لا تمسهما النار : عين بكت من خشية الله, وعين باتت تحرس فى سبيل الله</div><i>"Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka; mata yang menangis karena takut pada Allah dan mata yang sepanjang malam berjaga untuk menegakkan agama Allah".</i><br />
<br />
Dan masih banyak Hadits-hadits lain yang menunjukkan keutamaan air mata. Sering kita melihat orang meneteskan air mata di tengah melakukan ritual ibadah. Orang-orang yang shaleh akan menangis ketika perasaan takut kepada Allah bergejolak dalam hatinya. Sebagaimana Abu Sulaiman pernah mengatakan, "Air mata timbul dari perasaan takut, sedangkan perasaan timbul dari rindu dendam".<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn18">18</a></sup><br />
Tangis penyesalan yang sebenarnya yaitu tangis yang mampu menggerakkan hati kita untuk bangkit melakukan amal yang lebih baik. Jika kita menyesali masa lalu, namun ternyata perilaku kita tidak ada perubahan ke yang lebih baik, tidak berusaha untuk mengganti amal-amal yang telah kita lakukan dan tidak berusaha melakukan ibadah yang harus dilakukan hari ini dengan sebaik mungkin, maka tangisan itu <i>ghurur</i> (tipuan) belaka. <br />
Abu Sulaiman ad-Daroni pernah mengatakan, "Yang disebut tangis bukanlah memeras mata, melainkan yang disebut tangis ialah meninggalkan sesuatu yang sedang engkau tangisi (baca: maksiat)". Selanjutnya Abu Sulaiman mengingatkan kita agar tidak mudah tertipu dengan air mata, sebab saudara Nabi Yusuf juga menangis ketika mendatangi ayah mereka, namun sebenarnya mereka bangga karena rencana mereka untuk menyingkirkan Nabi Yusuf telah berhasil.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn19">19</a></sup><br />
Sebab itulah, ketika Rabiah al-Adawiyah mendengar seorang lelaki sedang mengatakan, "wa ahzanah! (aduhai sedihnya aku!)", lalu Rabiah mengatakan, "Engkau tidak pantas berkata demikian, yang lebih pantas engkau mengatakan, "Aduhai ucapanku wa ahzanah". Rabiah meneruskan nasihatnya, "Jika engkau benar-henar sedih maka engkau tidak akan sempat untuk bernafas."<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn20">20</a></sup><br />
Berdasarkan penjelasan di atas, air mata yang menunjukkan kesedihan dapat kita bagi menjadi tiga kategori. Pertama air mata buaya, yaitu air mata yang keluar dari orang-orang yang tidak berusaha memperbaiki amal perbuatannya pada masa 1alu. Kedua air mata shodiqin, yaitu tangis yang disertai dengan kesungguhan dan tidak ekstrim dalam beramal, serta berusaha memanfaatkan waktu yang masih ada dengan sebaik mungkin untuk mengganti kesalahan-kesalahan pada masa lalu. Ketiga air mata shodiqin yang Iain, yaitu mereka yang menangis ketika waktu mereka terbuang sia-sia, ketika mereka lalai, ketika mereka cenderung dengan kepentingan pribadi dan cenderung untuk memenuhi syahwat.<br />
Air mata para <i>shiddiqin</i> bukanlah hal yang tak berkesudahan, sebab kesedihan itu akan hilang ketika mereka tidak lagi tergantung dengan apa pun dan tidak ada lagi yang membuat hati mereka gundah. Orang-orang yang <i>wushul,</i> tidak akan pernah lagi merasakan gelisah dan takut. Dalam al-Qur'an disebutkan:<br />
<br />
<div class="arab" style="text-align: right;">ألا إن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون</div><i>"Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati".</i> (QS. Yunus : 62)<br />
<br />
Karena penyebab dari kesedihan adalah rasa kehilangan sesuatu atau sesuatu yang diharapkan tidak tercapai. Oleh karenanya orang-orang yang telah mendapatkan Allah tidak akan pernah merasa kehilangan. Mereka kemudian berucap:<br />
<div class="arab">وقالوا الحمد لله الذي أذهب عن الحزن</div><i>"Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang Telah menghilangkan duka cita dari kami."</i> (QS. Fatir : 34)<br />
Dalam maqom ini air mata akan berhenti menetes, di surga tidak ada lagi air mata.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn21">21</a></sup><br />
Selain itu, kesedihan yang tersirat dalam air mata juga harus sampai meresap dalam hati. Harus ada persesuaian antara lahir dan batin. Jika anggota fisik kita menampakkan kesedihan, namun kesedihan itu sama sekali tidak dirasakan oleh hati, maka hal tersebut merupakan khusu'nya orang-orang munafik. Orang-orang seperti ini pernah ditegur oleh Umar ra, yaitu ketika ia melihat orang yang berjalan sambil menundukkan kepala. Umar ra kemudian melempar orang tersebut dengan susu dan mengatakan, "Angkatlah kepalamu! Sesungguhnya khusu' itu berada di sini! (sambil menunjuk ke arah hati beliau)".<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn22">22</a></sup><br />
Itulah tangis kesedihan yang sebenarnya, tangis yang disertai dengan rasa penyesalan, tidak ingin mengulang dosa-dosa masa lalu, dan kesedihan tersebut meresap sampai ke dalam hati. Lalu pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dengan air mata yang ditumpahkan secara masal dan terorganisir sebagaimana yang dilakukan oleh Wahidiyah dalam <i>mujahadah qubro?</i><br />
Jika kita mengatakan air mata itu keluar karena takut kepada Allah maka kita berat untuk menerimanya, sebab seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa tangisan yang sebenarnya adalah tangisan yang mampu merubah pelakunya menjadi lebih baik, tidak lagi melakukan maksiat kepada Allah. Padahal sekarang kita dapat melihat dengan mata kita sendiri bagaimana keadaaan orang-orang yang melakukan tangis secara masal tersebut.<br />
Tanpa mereka sadari di tengah mereka meratap, mereka telah melakukan maksiat yang sebenarnya tidak boleh dilakukan, yaitu berbaurnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn23">23</a></sup> Da1am sebuah hadits Nabi pernah menyebutkan, "Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih membahayakan bagi seorang lelaki dibandingkan dengan para wanita". Da1am Hadits lain beliau bersabda, "Jauhkanlah antara laki-laki dan wanita".<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn24">24</a></sup><br />
Air mata yang ditumpahkan secara masal dan terorganisir sangat berpotensi menimbulkan riya'. Dia ingin memperlihatkan pada orang lain bahwa ia adalah orang yang khusyu' dan lembut hatinya. Ama1 yang demikian inilah yang sangat dilarang oleh para ulama, bahkan Fudlail bin Iyadl pernah mengatakan, "Meninggalkan amal karena manusia adalah riya' dan beramal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas adalah ketika Allah menyelamatkanmu dari keduanya".<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn25">25</a></sup><br />
Para ulama sering kali menjelaskan bahwa tangis yang dilakukan ketika sendiri lebih aman dari hal-hal yang menyebabkan amal kita menjadi rusak, tidak ikhlas karena Allah. Salah satu pijakan mereka adalah Hadits yang menjelaskan tentang tujuh orang yang akan mendapatkan tempat berteduh ketika tiada lagi tempat berteduh selain dari Allah. Salah satu dari ketujuh orang tersebut ialah orang yang mengingat Allah dalam sepi, kemudian kedua matanya menitikkan air mata.<br />
Jika Anda ingin mengetahui bagaimana tanda orang-orang yang riya', Anda bisa menyimak tiga ciri yang pernah disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib ra. Ciri-ciri tersebut ialah:<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn26">26</a></sup> <br />
<ul><li>Bermalas-malasan ketika sedang sendiri</li>
<li>Bergairah ketika sedang bersama dengan orang lain</li>
<li>Lebih banyak melakukan amal ketika mendapatkan pujian namun ketika dicela dia jarang-jarang melakukan amal"</li>
</ul>Sekarang mari kita coba menyimak bagaimana pentingnya menyembunyikan air mata dan bagaimna yang dilakukan oleh para ulama ketika melihat orang yang menangis dalam keramaian.<br />
Suatu ketika Abu Umamah al-Bahili melihat seorang sedang melakukan Sujud dalam masjid sambil menangis. Abu Umamah kemudian memanggilnya dan berkata, "Bagaimana engkau ini! Sebaiknya hal ini engkau lakukan saja di rumahmu". Muhammad bin al-Mubarok ash-Shuwari juga pernah mengatakan, "Tampakkanlah sikap diam pada malam hari, sebab hal itu lebih baik dari pada menampakkan diam pada siang hari. Jika diam pada waktu siang adalah untuk makhluk maka diam pada malam hari adalah untuk Tuhan semesta Alam".<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn27">27</a></sup><br />
Abdullah bin Hubaib juga pernah bercerita, "Suatu ketika aku melihat Muhammad bin Ka'ab sedang bercerita, kemudian tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki sedang menangis. Muhammad bin Ka'ab lantas menghentikan ceritanya dan berkata, " Siapa tadi yang menangis?" Orang-orang dalam pertemuan itu menjawab, "Dia maula bani fulan". Seolah-olah Muhammad bin Ka'ab tidak senang mendengar tangisan itu.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn28">28</a></sup><br />
Itulah ulama-ulama terdahulu, mereka berusaha menyembuhkan tangisan mereko dan bukan malah dipublikasikan. Mungkin kita perlu meniru bagaimana cara mereka menutup-nutupi tangisan itu serapi mungkin agar tidak diketahui oleh orang lain. Mungkin bisa dengan meniru cara Ayub. Ketika menangis ia memegangi hidungnya dan berkata, "Terkadang penyakit flu ini menyerang". Lantas ketika tangis itu kembali terasa mendesak-desak dalam dada, ia berusaha untuk menenangkan tangis itu dan kembali mengatakan, "Orang kalau sudah tua, biasanya sering meludah".<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn29">29</a></sup> Atau dengan cara Abi Sail. Saat membaca Hadits atau al-Quran biasanya ia menangis, namun ketika tangis itu terasa ingin tumpah maka dengan segera ia pura-pura tersenyum.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn30">30</a></sup><br />
Para ulama tersebut lebih senang jika tangisan itu tidak diketahui oleh siapa pun termasuk istri-isr\tri mereka. Diceritakan oleh Muhammad bin Wasi', "Aku pernah melihat seorang suami yang tidur satu bantal dengan istrinya. Ketika itu air mata sang suami itu mengalir membasahi pipi, sedangkan sang istri tidak mengetahui bahwa suaminya telah menangis. Aku juga pernah melihat seorang laki-laki pergi meninggalkan shof dan air matanya menetes membasahi pipi, namun orang di sampingnya tidak mengetahui keadaan ini". Muhammad bin Wasi' juga pernah bercerita bahwa dia pernah melihat seorang lelaki menangis di sisi istrinya selama dua puluh tahun, namun tangisan itu tidak pernah diketahui oleh sang istri.<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn31">31</a></sup><br />
Mereka lebih senang untuk menyembunyikan tangis tersebut dan kalau perlu suara tangis itu pun mereka sembunyikan, seperti yang diceritakan oleh Abdullah bin Isa, "Ayahku pernah bercerita bahwa suatu ketika Hasan bin Abi Sinan mendatangi masjid Malik bin Dinar. Ketika Malik berbicara, Hassan menangis sampai air matanya membasahi kedua telapak tangannya, namun sama sekali tidak terdengar suara tangis darinya".<sup class="footnote"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/wahidiyah-nov07.single?seemore=y#fn32">32</a></sup> Mereka berusaha untuk menyembunyikan tangis tersebut karena takut, sebab kelak pada hari kiamat mereka akan ditanya apa maksud dari air mata kalian? Karena riya'kah atau karena Allah?<br />
<br />
___________________________________________________________________ <br />
<div class="footnote" id="fn1"><sup>1</sup> <i>Ponpes Kedunglo Kediri Memelihara Budaya Islam</i>, Republika Online, 25 April 2003</div><div class="footnote" id="fn2"><sup>2</sup> Jama'ah Perjuangan Wahidiyah, <i>Pedoman Pokok-pokok Ajaran Wahidiyah,</i> hlm. 48.</div><div class="footnote" id="fn3"><sup>3</sup> Ibid.</div><div class="footnote" id="fn4"><sup>4</sup> Abu l-Fida' Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurosyiy, <i>Tafsir al-Qur'anul adzim,</i> vol. <span class="caps">VI, </span>hlm. 457, <a href="http://www.qurancomplex.com/">http://www.qurancomplex.com</a></div><div class="footnote" id="fn5"><sup>5</sup> Syamsuddin al-Qurthubi, <i>Tafsir al-Qurthubti,</i> vol. 14, hlm. 232, <a href="http://www.waqfeya.net/shamela">http://www.waqfeya.net/shamela</a></div><div class="footnote" id="fn6"><sup>6</sup> Wizarotul Auqof wa Syu'un al-Islamiyah, <i>al-Mausu'ah al-Islamiyah,</i> vol.27, hlm.236, Maktabah Jamiul Fiqhil Islami.</div><div class="footnote" id="fn7"><sup>7</sup> Ibid, vol.27, hlm. 237-238</div><div class="footnote" id="fn8"><sup>8</sup> Syihabuddin Muhammad ibnu Abdillah al-Husaini al-Alusi, <i>Ruhul Ma'ani fi Tafsiril Qur'an al-Adzim was Sab'il Matsani,</i> vol. <span class="caps">XVI, </span>hlm. 214, <a href="http://www.altafsir.com/">http://www.altafsir.com</a></div><div class="footnote" id="fn9"><sup>9</sup> Kata Hati Sang Tulisan, <i>Luforsa yang Selalu tetap Berusaha tabah dalam menjalani hidup ini, Inginnya Aku Mencintaimu, Ya Rasulullah</i></div><div class="footnote" id="fn10"><sup>10</sup> Syarofuddin Yahya an-Nawawi, <i>Syarah an-Nawawi 'ala Muslim,</i> vol. I, hlm. 124. <a href="http://www.al-islam.com/">http://www.al-islam.com</a></div><div class="footnote" id="fn11"><sup>11</sup> Ibid.</div><div class="footnote" id="fn12"><sup>12</sup> Abu Hamid Al-Ghozaly, <i>Ihya' Ulumud Dien,</i> vol. <span class="caps">III, </span>hlm. 424, <a href="http://www.alwarraq.com/">http://www.alwarraq.com</a></div><div class="footnote" id="fn13"><sup>13</sup> Ibnu Rojab, <i>Fathul Bari,</i> vol. I, hlm. 22, <a href="http://dorar.net/">http://dorar.net</a></div><div class="footnote" id="fn14"><sup>14</sup> Ibnu Ajibah, <i>Iqodzul Himam,</i> vol. I, hl. 129, <a href="http://www.alwarraq.com/">http://www.alwarraq.com</a></div><div class="footnote" id="fn15"><sup>15</sup> Ibnu Rojab, op. cit., vol. I, hl. 24-25, <a href="http://dorar.net/">http://dorar.net</a></div><div class="footnote" id="fn16"><sup>16</sup> Syarofuddin Yahya an-Nawawi, <i>al-Majmu',</i> vol. V, hlm. 307, <a href="http://www.waqfeya.net/shamela">http://www.waqfeya.net/shamela</a></div><div class="footnote" id="fn17"><sup>17</sup> Syihabuddin Yahya an-Nawawi, <i>Riyadus Sholihin,</i> vol. I, hlm. 66-67, <a href="http://www.alwarraq.com/">http://www.alwarraq.com</a></div><div class="footnote" id="fn18"><sup>18</sup> Abu Hamid al-Ghozaly, op. ct. vol. <span class="caps">III, </span>hlm. 263</div><div class="footnote" id="fn19"><sup>19</sup> Ibnu Ajibah, op. ct., vol. H, hlm. 91</div><div class="footnote" id="fn20"><sup>20</sup> Ibid.</div><div class="footnote" id="fn21"><sup>21</sup> Ibid.</div><div class="footnote" id="fn22"><sup>22</sup> Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Abdari, <i>al-Madkhol,</i> vol. I, hlm. 74, <a href="http://www.al-islam.com/">http://www.al-islam.com</a></div><div class="footnote" id="fn23"><sup>23</sup> Abi Bakar, Sayyid Bakri ibn Sayyid Muhammad Syatho, <i>I'anathut Tholibin,</i> vol. I, hlm. 313, <a href="http://www.waqfeya.net/shamela">http://www.waqfeya.net/shamela</a></div><div class="footnote" id="fn24"><sup>24</sup> Ibnu Qoyyim al-Juziyah, <i>ath-Thuruq al-Hukmiyah,</i> hlm. 239, Jami'ul Fiqhil Islami</div><div class="footnote" id="fn25"><sup>25</sup> Syarofuddin Yahya an-Nawawi, <i>Adzkar,</i> vol. I, hlm. 7, <a href="http://www.waqfeya.net/shamela">http://www.waqfeya.net/shamela</a></div><div class="footnote" id="fn26"><sup>26</sup> Adz-Dzhahabi, <i>al-kabair,</i> vol. I, hlm. 53, <a href="http://www.alwaruq.com/">http://www.alwaruq.com</a></div><div class="footnote" id="fn27"><sup>27</sup> Ibid.</div><div class="footnote" id="fn28"><sup>28</sup> Ibnu Abi Dunya, ar-Riqoh wal Buka', vol. I, hlm. 159, <a href="http://www.alsunnah.com/">http://www.alsunnah.com</a></div><div class="footnote" id="fn29"><sup>29</sup> Ibid, vol. I, hlm. 161</div><div class="footnote" id="fn30"><sup>30</sup> Ibid, vol. I, hlm. 163</div><div class="footnote" id="fn31"><sup>31</sup> Ibid, vol. I, hlm. 176</div><div class="footnote" id="fn32"><sup>32</sup> Ibid, vol. I, hlm. 176</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7952077414346619986.post-90062077674667868112010-05-27T20:20:00.001+07:002010-05-27T20:54:31.127+07:00Riwayat Perjuangan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama'<h3>Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' Lahir</h3>Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa'ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah.<br />
Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,dengan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat<span style="font-size: small;"> </span><br />
<div style="text-align: justify;"><a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> </span>terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar.</div>Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. <span class="caps">KH.</span> Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum hadlratus syaikh <span class="caps">KH.</span> Hasyim Asy'ari, diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang diberi nama <b>Comite Hejaz</b>, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.<br />
Semula <b>Comite Hejaz</b> bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan telegram kepada raja Ibnu Sa'ud.<br />
Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama "JAM'IYYAH <span class="caps">NAHDLATUL ULAMA</span>" dengan susunan pengurus HB <b>(Hoof Bestuur)</b> sebagai berikut:<br />
<br />
<table cellspacing="0" class="clearBorder"><tbody>
<tr><td>Ra'is Akbar</td><td>:</td><td>Hadlratus Syaikh <span class="caps">KH.</span> Hasyim Asy'ari</td></tr>
<tr><td>Wakil Ra'is</td><td>:</td><td><span class="caps">KH.</span> Said bin Shalih</td></tr>
<tr><td>Katib Awwal</td><td>:</td><td><span class="caps">KH.</span> Abdul Wahab Hasbullah</td></tr>
<tr><td>Katib Tsani</td><td>:</td><td>Mas H. Alwi Abdul Aziz</td></tr>
<tr><td>A'wan</td><td>:</td><td>1. <span class="caps">KH.</span> Abdul Halim (Leuwimunding)<br />
2. <span class="caps">KH.</span> Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU)<br />
3. <span class="caps">KH.</span> Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang. <br />
4. <span class="caps">KH.</span> Said.<br />
5. <span class="caps">KH.</span> Abdullah Ubaid, Surabaya.<br />
6. <span class="caps">KH.</span> Nahrawi Thahir, Malang.<br />
7. <span class="caps">KH.</span> Amin, Surabaya.<br />
8. <span class="caps">KH.</span> Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng</td></tr>
<tr><td>Musytasyar</td><td>:</td><td>1. <span class="caps">KH.</span> Asnawi, Kudus<br />
2. <span class="caps">KH.</span> Ridlwan, Semarang.<br />
3. <span class="caps">KH.</span> Nawawi, Sidogiri, Pasuruan.<br />
4. <span class="caps">KH.</span> Doro Muntoho, Bangkalan.<br />
5. <span class="caps">KH.</span> Ahmad Ghonaim Al Misri.<br />
6. <span class="caps">KH.</span> Hambali, Kudus.</td></tr>
<tr><td colspan="3"><br />
</td></tr>
<tr><td>Presiden</td><td>:</td><td>H. Hasan Gipo</td></tr>
<tr><td>Penulis</td><td>:</td><td>H. Sadik alias Sugeng Yudodiwiryo</td></tr>
<tr><td>Bendahara</td><td>:</td><td>H. Burhan</td></tr>
<tr><td>Komisaris</td><td>:</td><td>H. Saleh Syamil<br />
H. Ihsan<br />
H. Nawawi<br />
H. Dahlan Abd. Qohar<br />
Mas Mangun</td></tr>
</tbody></table>Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya; dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan Wahabi saja sebagaimana <b>Comite Hejaz</b>. Disamping itu juga dimaksudkan sebaga organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.<br />
<h3>1926-1929</h3>Setelah Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M, maka Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan semua tugas Comite Hejaz yang belum dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya kepada Jam'iyyah <span class="caps">NU.</span> Alhamdulillah, meskipun Jam'iyyah NU baru saja lahir, ternyata telah mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik tugas yang dilimpahkan oleh Comite Hejaz, maupun tugas yang diharapkan oleh ummat Islam kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara lain:<br />
<ol><li>Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil menyelenggarakan kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi Islam selain <span class="caps">NU, </span>seperti: <span class="caps">PSII,</span> Muhammadiyah dan lain-lainnya. Diantara keputusan kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu: <span class="caps">H.U</span>mar Said Tjokroaminoto dari <span class="caps">PSII </span>dan <span class="caps">KH.</span> Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam'iyyah NU juga mengirimkan utusan yang khusus membawa amanat <span class="caps">NU, </span>yaitu: <span class="caps">KH.</span> Abdul Wahab Hasbullah dan <span class="caps">KH.</span> Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utusan ini berhasil dengan baik.<br />
Kedua beliau ini pulang dengan membawa surat dari raja Sa'ud ke Indonesia tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 <span class="caps">M., </span>nomor: 2082, yang isinya antara lain menyatakan bahwa raja Ibnu Sa'ud menjanjikan akan membuat satu ketetapan yang menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam menurut paham yang dianutnya. </li>
<li>Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka sejak lahir, Jam'iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai: <br />
<ol><li>Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa. </li>
<li>Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam. </li>
<li>Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.</li>
<li>Dan lain-lainnya.</li>
</ol></li>
</ol>Walhasil, meskipun NU tidak pernah menyatakan sebagai Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal politik.<br />
<h3>1929-1942</h3>Pada tanggal 5 September 1929 Jam'iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar <b>(Statuten)</b> dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama: "PERKUMPULAN <span class="caps">NAHDLATUL ULAMA</span>" untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari 1926.<br />
Hoofbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama' juga berusaha membuat lambang NU dengan jalan meminta kepada para Kyai untuk melakukan istikharah. Dan ternyata Almarhum <span class="caps">KH.</span> Ridlwan Abdullah, Bubutan Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar lambang itu secara lengkap seperti lambang yang sekarang; tanpa mengetahui makna simbol-simbol yang terdapat dalam lambang tersebut satu-persatu.<br />
Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama' mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:<br />
<ol><li>Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dipimpin oleh para ulama' yang menjadi guru dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh <span class="caps">KH.</span> Hasyim Asy'ari.</li>
<li>Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar.</li>
</ol>Sebagai organisasi sosial yang harus menangani semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama' memandang sangat perlu untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh <span class="caps">NU.</span> Untuk itu, pada tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa <span class="caps">KH.</span> Abdul Wahid Hasyim selaku konsul Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren. Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:<br />
<ul><li>Madrasah Umum, yang terdiri dari: <br />
<ul><li>Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.</li>
<li>Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.</li>
<li>Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.</li>
<li>Madrasah Mu'allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.</li>
<li>Madrasah Mu'allimin 'Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.</li>
</ul></li>
<li>Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari: <br />
<ul><li>Madrasah Qudlat (Hukum).</li>
<li>Madrasah Tijarah (Dagang).</li>
<li>Madrasah Nijarah (Pertukangan).</li>
<li>Madrasah Zira'ah (Pertanian).</li>
<li>Madrasah Fuqara' (untuk orang-orang fakir).</li>
<li>Madrasah Khusus.</li>
</ul></li>
</ul><h3>Kelahiran <b>Al Majlis Al Islamiy Al A'la</b> (MIAI)</h3>Pada masa penjajahan Belanda, ummat Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah Belanda, disamping penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan di luar Islam kepada agama Islam, Al Qur'an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk menghadapi hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama' memandang perlu untuk mempersatukan seluruh potensi ummat Islam di Indonesia.<br />
Pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama' telah memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A'la Indonesia (MIAI), dengan susunan dewan sebagai berikut:<br />
<table cellspacing="0" class="clearBorder"><tbody>
<tr><td>Ketua Dewan</td><td>:</td><td><span class="caps">KH.</span> Abdul Wahid Hasyim, dari NU</td></tr>
<tr><td>Wakil Ketua Dewan</td><td>:</td><td>W. Wondoamiseno, dari <span class="caps">PSII</span></td></tr>
<tr><td>Sekretaris (ketua)</td><td>:</td><td>H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah</td></tr>
<tr><td>Penulis</td><td>:</td><td><span class="caps">S.A.</span> Bahresy, dari <span class="caps">PAI</span></td></tr>
<tr><td>Bendahara</td><td>:</td><td>1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad<br />
2. <span class="caps">K.H.</span> Mas Mansur, dari Muhammadiyah<br />
3. Dr. Sukiman, dari <span class="caps">PII</span></td></tr>
</tbody></table>Adapun tujuan perjuangan yang akan dicapai oleh <span class="caps">MIAI </span>antara lain sebagai berikut:<br />
<ul><li>Menggabungkan segala perhimpunan ummat Islam Indonesia untuk bekerja bersama-sama.</li>
<li>Berusaha mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan ummat Islam Indonesia, baik yang telah tergabung dalam <span class="caps">MIAI </span>maupun belum.</li>
<li>Merapatkan hubungan antara ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di luar negeri.</li>
<li>Berdaya upaya untuk keselamatan agama Islam dan ummatnya.</li>
<li>Membangun Konggres Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar <span class="caps">MIAI.</span></li>
</ul><h3>1942-1952 </h3><h4>Kelahiran Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI)</h4>Pada masa penjajahan Jepang, <span class="caps">MIAI </span>masih diberi hak hidup oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara <span class="caps">MIAI </span>tetap diijinkan untuk terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut:<br />
<ul><li>Menyadarkan rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.</li>
<li>Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur'an.</li>
<li> Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama' atau kyai yang terkenal.</li>
<li>Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.</li>
<li>Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.</li>
</ul>Akan tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para ulama' dari seluruh Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir Jakarta, yang isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama' tampil ke depan untuk memelopori kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi yang dianggap mampu membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka, bebas dari segala macam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir, maka <span class="caps">MIAI </span>pun dibubarkan.<br />
<h4>Pembentukan laskar rakyat</h4>Pemerintah Penjajah Jepang memang mempunyai taktik yang lain dengan Penjajah Belanda terhadap para ulama' di Indonesia. Dari informasi yang diberikan oleh para senior yang dikirim oleh pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia (mereka menyamar sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya yang keluar masuk kampung), penjajah Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, semuanya ta'at, patuh dan tunduk kepada komando yang diberikan oleh para ulama'.<br />
Oleh karena itu, penjajah Jepang ingin merangkul para ulama' untuk memukul bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya, maka dengan berbagai macam dalih dan alasan, penjajah Jepang meminta kepada para ulama' agar memerintahkan kepada para pemuda untuk memasuki dinas militer, seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.<br />
Sedang Nahdlatul Ulama' sendiri mempunyai maksud lain, yaitu bahwa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang terampil mempergunakan senjata dan berperang. Untuk itu Nahdlatul Ulama' berusaha memasukkan pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan kaum tua, Nahdlatul Ulama' tidak melupakan untuk membentuk Barisan Sabilillah dengan <span class="caps">KH.</span> Masykur sebagai panglimanya; meskipun sebenarnya selama penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU selama penjajahan Jepang adalah menggunakan wadah <span class="caps">MIAI </span>dan kemudian <span class="caps">MASYUMI. </span><br />
<h4>Masyumi menjelma sebagai Partai Politik</h4>Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama' yang dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia.<br />
Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama', Hadlratus Syaikh <span class="caps">KH.</span> Hasyim Asy'ari, mengeluarkana fatwa bahwa mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya.<br />
Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10 November '45 <br />
Pengurus Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam dari fihak penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku penjajahannya di Indonesia. <br />
Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis,sedang hal-hal yang menyangkut perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu disalurkan dengan nama Masyumi.<br />
Atas prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan <span class="caps">KH.</span> Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:<br />
<br />
<table cellspacing="0" class="clearBorder"><tbody>
<tr><th colspan="3">Majlis Syura (Dewan Partai)</th></tr>
<tr><td>Ketua Umum</td><td>:</td><td>Hadlratus Syaikh <span class="caps">KH.</span> Hasyim Asy'ari</td></tr>
<tr><td>Ketua Muda I</td><td>:</td><td>Ki Bagus Hadikusuma</td></tr>
<tr><td>Ketua Muda II</td><td>:</td><td><span class="caps">KH.</span> Abdul Wahid Hasyim</td></tr>
<tr><td>Ketua Muda <span class="caps">III</span></td><td>:</td><td>Mr. Kasman Singodimejo</td></tr>
<tr><td>Anggota</td><td>:</td><td>1. <span class="caps">RHM.</span> Adnan.<br />
2. H. Agus Salim.<br />
3. <span class="caps">KH.</span> Abdul Wahab Hasbullah.<br />
4. <span class="caps">KH.</span> Abdul Halim.<br />
5. <span class="caps">KH.</span> Sanusi.<br />
6. Syekh Jamil Jambek</td></tr>
<tr><th colspan="3">Pengurus Besar</th></tr>
<tr><td>Ketua</td><td>:</td><td>Dr. Sukirman</td></tr>
<tr><td>Ketua Muda I</td><td>:</td><td>Abi Kusno Tjokrosuyono</td></tr>
<tr><td>Ketua Muda II</td><td>:</td><td>Wali Al Fatah</td></tr>
<tr><td>Sekretaris I</td><td>:</td><td>Harsono Tjokreoaminoto</td></tr>
<tr><td>Sekretaris II</td><td>:</td><td>Prawoto Mangkusasmito</td></tr>
<tr><td>Bendahara</td><td>:</td><td>Mr. <span class="caps">R.A.</span> Kasmat</td></tr>
</tbody></table><h4>Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri Dari Masyumi</h4>Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama'. Sebab Nahdlatul Ulama' selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk mencapai cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama' yang dimotori oleh <span class="caps">KH.A</span>bdul Wahid Hasyim untuk mendirikan <span class="caps">MIAI, MASYUMI, </span>dan akhirnya mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama' adalah modal pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama' pada konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor Nahdlatul Ulama' juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam <span class="caps">GPII </span>(Gabungan Pemuda Islam Indonesia).<br />
Akan tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam Partai Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi segala sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat menghambat kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Akhirnya ketegangan hubungan antara ulama'/kyai dengan golongan intelek yang dianggap sebagai para petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka para pemimpin <span class="caps">PSII </span>sudah tidak dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya; sampai kemudian <span class="caps">PSII </span>menjadi partai. <br />
Pengunduran diri <span class="caps">PSII </span>tersebut oleh pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 - 19 Desember 1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan.<br />
Sikap Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama' tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul Ulama'. Namun <span class="caps">PBNU </span>masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul Ulama' meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama' untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai.<br />
<h4>Nahdlatul Ulama' membentuk Liga Muslimin</h4>Setelah Nahdlatul Ulama' keluar dari Masyumi, Jam'iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama' mengadakan kontak dengan <span class="caps">PSII </span>dan <span class="caps">PERTI </span>membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang positif dari <span class="caps">PSII </span>dan <span class="caps">PERTI, </span>sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri dari Nahdlatul Ulama', <span class="caps">PSII, PERTI </span>dan Darud Dakwah Wal Irsyad.<br />
<h3>Dekade 1965</h3>Selama Nahdlatul Ulama' menjadi Partai Islam, dalam gerak langkah nya mengalami pasang naik dan juga ada surutnya. Saat kabut hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal 30 September 1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama' muncul dan mampu mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya <span class="caps">PKI </span>(Partai Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama' pada saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada organisasi-organisasi selain <span class="caps">NU.</span><br />
Keberhasilan Nahdlatul Ulama' dalam menumbangkan <span class="caps">PKI </span>dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal ini menambah kepercayaan Pemerintah terhadap Nahdlatul Ulama'. Nahdlatul Ulama' sebagai Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional. Apalagi mampu menumbangkan dan menumpas pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah dapat ditumpas oleh negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, Nahdlatul Ulama' dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang sangat komplek dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatul Ulama' sendiri dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci, mengalami pembauran kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama' yang sudah berada di puncak mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya.<br />
Pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat Nahdlatul Ulama' menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama' harus mempunyai anggauta secara realita, terdaftar dan bertanda anggauta secara pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul Ulama', kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul Ulama' membutuhkan anggauta sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang membuat kabur antara tujuan, alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan, Nahdaltul Ulama' harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat melaksanakan program dalam mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena pengaruh lingkungan dan juga karena pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai dan dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan.<br />
Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul Ulama' mencapai puncak keberhasilan. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok Pesantren yang semula menjadi benteng terakhir Nahdlatul Ulama' sudah mulai terkena erosi, sebagai akibat perhatian Nahdlatul Ulama' yang terlalu dicurahkan dalam masalah-masalah politik.<br />
<h3>Penyederhanaan Partai-Partai</h3>Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama' keluar sebagai pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul Ulama' adalah sebagai hal yang luar biasa; sementara di pihak lain terdapat dua partai yang tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu Partai <span class="caps">MURBA </span>dan <span class="caps">IPKI, </span>yang berarti aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk menyederhanakan partai-partai politik.<br />
Kehendak menyederhanakan partai-partai politik tersebut, datangnya memang bukan dari Nahdlatul Ulama'. Akan tetapi Nahdlatul Ulama' menyambut dengan gembira. Dan dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul Ulama' tidak membentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi. Namun demikian, ganjalan pun terjadi, karena memang masing-masing pihak yang berfusi mempunyai tata-nilai sendiri-sendiri.<br />
Bagaimanakah kenyataannya? <br />
Kehidupan politik yang ditentukan oleh golongan elit telah menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' ke dalam kehidupan elit. Padahal kehidupan elit semacam ini tidak terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama'. Sehingga kehidupan elit ini sebagai barang baru yang berkembang biak dan hidup subur di kalangan Nahdlatul Ulama'. Maka timbullah pola pemikiran baru yang mengarah kepada kehidupan individualis, agar tidak tergeser dari rel yang menuju kepada kehidupan elit. Dari fusi inilah rupa-rupanya yang membuat parah kondisi yang asli dari Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' sejak mula pertama didirikan sebagai jam'iyyah.<br />
<h3>Nahdlatul Ulama' Kembali Kepada Khittah An Nahdliyah</h3>Selama Nahdlatul Ulama' berfusi dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tata-nilai semakin berjurang lebar; sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama' sendiri terdapat banyak ketimpangan dan kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak disadari, Nahdlatul Ulama' telah menjadi kurang peka dalam menanggapi dan mengantisipasi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkuat kepentingan ummat dan bangsa. Salah satu sebabnya adalah ketelibatan Nahdlatul Ulama' secara berlebihan dalam kegiatan politik praktis; yang pada gilirannya telah menjadikan Nahdlatul Ulama' tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud kelahirannya, sebagai jam'iyyah yang ingin berkhidmat secara nyata kepada agama, bangsa dan negara. Bahkan hal tersebut telah mengaburkan hakekat Nahdlatul Ulama' sebagai gerakan yang dilakukan oleh para ulama'. Tidak hanya sekedar itu saja yang sangat menyulitkan Nahdlatul Ulama' dalam kancah politik selama berfusi dalam <span class="caps">PPP</span>; akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri semakin tajam, sehingga sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang bagaimana dan siapa sebenarnya Nahdlatul Ulama'.<br />
Dari kejadian demi kejadian dan bertolak dari keadaan tersebut, maka sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama' secepatnya mengembalikan citranya yang sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama' tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul Ulama' harus melepaskan diri dari kegiatan politik praktis secara formal, seperti yang telah diputuskan dalam Musyawarah Alim Ulama' Nahdlatul Ulama' (Munas NU) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982.<br />
<br />
<img align="left" height="36" src="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/images/kh_masduqi.jpg" style="padding-right: 10px;" width="36" /> <b>Disusun oleh:</b><br />
Drs. <span class="caps">KH.</span> Achmad MasduqiUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7952077414346619986.post-23126860145530734612010-05-27T20:19:00.002+07:002010-05-27T21:01:45.004+07:00Risalah Amaliyah Nahdliyah<h3>Pengantar</h3>Risalah kecil ini disusun oleh tiga lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama yaitu LAKPESDAM, Lembaga Bahtsul Masail dan <i>Rabithah Maahidil Islam</i> Kota Malang dalam rangka Harlah NU ke-82.<br />
Diantara kegiatan-kegiatan yang diadakan pengurus NU Kota Malang, PC NU Kota Malang berupaya menerbitkan risalah ini agar dijadikan pegangan dan bekal bagi para jamaahnya.<br />
<br />
Risalah ini memuat berbagai dalil amaliah yang selama ini sudah dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan social sehari-hari. Para Ulama dahulu dengan segala kearifannya, lebih menekankan amal dari ilmu dari setiap amaliah sehari-hari. Ketika zaman telah berubah dimana gempuran kaum wahabi bertubi-tubi dari berbagai penjuru, mereka meracuni nahdliyin dengan berbagai pernyataan bahwa setiap amaliah yang telah dilakukan orang NU tidak berdasar dan bid’ah. Bahkan di daerah Jawa Tengah kelompok <i>Wahabi</i> dengan menggunakan baju<br />
<div style="text-align: justify;"><a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> </span><i>Majelis Qiraah al Quran</i>, membayar beberapa stasiun radio agar mempropagandakan bahwa amaliyah NU itu sesat dan bid’ah setiap pagi dan sore.</div>Apa yang dilakukan PCNU Kota Malang ini harus disambut baik, ditindaklanjuti dan disebarluaskan ke berbagai kalangan Nahdliyin agar mereka tidak goyah dengan amaliyahnya sehari-hari.<br />
Untuk mempermudah cara baca, sengaja risalah ini dibuat dengan sistem tanya jawab.<br />
<br />
<a href="http://www.blogger.com/post-edit.g?blogID=7952077414346619986&postID=2312686014553073461" name="TOC0"></a><br />
<h3><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/risalah_amaliyah_nahdliyah-pcnu_malang-mar08.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_1"></a>Tahlil dan Dzikir Jamaah</h3><h4>Bagaimana hukumnya tahlil?</h4><blockquote>Mengapa hukumnya tahlil ditanyakan? Bukankah tahlil itu <i>sighat masdar</i> dari <i>madzi hallala</i> yang artinya baca <i>Laa Ilaaha Illa Allah</i>.</blockquote><h4>Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu.</h4><blockquote>Tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan <i>Laa Ilaaha Illa Allah,Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim, </i>sholawat, ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah juga masih ditanyakan hukumnya?</blockquote><h4>Tetapi apakah ada aturan berdzikir secara jamaah sebagaimana dilakukan jamaah NU?</h4><div class="arab" dir="rtl">وَاصبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدَاةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ</div><blockquote><i>Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridlaan NYA; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka…</i></blockquote><h4>Di samping ayat disebutkan diatas, diantara ayat yang biasa anda dan kyai NU pahami sebagai anjuran dzikir berjama'ah adalah</h4><i>"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." </i><i>(QS. 3:191) </i><br />
<br />
Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan <i>dzikir</i> berjamaah karena menggunakan sighat (konteks) <i>jama'</i> (plural) yaitu <i>yadzkuruna</i>. Menurut kyai NU <i>jama'</i> berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama. Pengambilan dalil semacam ini menurut saya adalah tidak benar, karena tidak setiap kalimat yang disampaikan dalam bentuk <i>jama'</i> harus dipahami bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.<br />
Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis, penulis makalah "<i>Adz-Dzikr al-Jama'i baina al-Ittiba' wal ibtida'</i> (telah dibukukan dengan judul yang sama), menjelaskan bahwa <i>sighat</i> (konteks) jama' dalam ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wata'ala tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan <i>dzikir</i> berjama'ah.<br />
<br />
Selain itu jika <i>sighat</i> (konteks) jama' dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama'ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa <i>dzikir</i> itu dilakukan dengan cara berdiri (<i>qiyaman</i>), duduk (<i>qu'udan</i>) dan berbaring (<i>'ala junubihim</i>). Nah bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama'ah dengan cara seperti ini? Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk <i>dzikir</i> bersama-sama satu suara?<br />
<blockquote>Kalau anda menyatakan bahwa lafadz <i>jama'</i> itu tidak selalu bersama-sama, maka bisakah anda menunjukkan bahwa lafadz jama' itu tidak mungkin dimaknakan bersama-sama? Bagaimanakah dengan kisah para sahabat yang berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali <i>khandaq</i> (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu ‘anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan:<br />
<i>"HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN.."</i> (lihat Kitab <i>Sirah Ibn Hisyam</i> Bab <i>Ghazwat Khandaq</i>).</blockquote><blockquote>Perlu anda ketahui bahwa <i>sirah Ibn Hisyam</i> adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena ia adalah <i>Tabi'in</i>. Sehingga akurasi sumber datanya lebih valid. Begitu juga pada waktu para sahabat membangun saat membangun Masjidirrasul saw: mereka bersemangat sambil bersenandung:</blockquote><blockquote><i>"Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah" </i><br />
Setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat:</blockquote><blockquote><i>"Laa 'Iesy illa 'Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah ..."</i> (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina' masjidissyarif hal 116)</blockquote><blockquote>Ucapan ini pun merupakan doa Rasul saw demikian diriwayatkan dalam <i>shahihain</i>. Mengenai makna berdiri (<i>qiyaman</i>), duduk (<i>qu'udan</i>) dan berbaring (<i>'ala junubihim</i>). Tidakkah anda pernah shalat berjamaah? Bukankah shalat juga melafalkan dzikir? Bukankah shalat itu bisa berdiri, duduk dan tidur miring? Menafsiri ayat tersebut diatas Ibn Katsir mengutip hadits Nabi riwayat Bukhari:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">عن عِمْران بن حُصَين، رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "صَلِّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لَم تستطع فَعَلَى جَنْبِكَ أي: لا يقطعون ذِكْره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم</div><blockquote><div dir="ltr">Jadi ayat tersebut di atas lebih dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat, namun secara umum dapat juga diartikan dzikir secara <i>laf-dziy</i>. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Kalau anda memaknakan bahwa dzikir berjamaah dengan tidur semua, duduk semua atau berdiri semua, manakah point yang menunjukkan itu? Bagaimana kalau dimaknakan bila dzikir itu dibaca berjamaah, kita dapat berdiri, duduk dan tiduran sesuai dengan kondisi kita? Berdiri karena tidak lagi kebagian tempat, tiduran karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan.<br />
<br />
Sahabat Rasul radhiyallahu'anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya andapun shalat tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yg terang benderang dg keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah. Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar, mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini. </div></blockquote><blockquote><div dir="ltr">Kalau anda tidak mau memaknakan kalimat jama' dengan arti bersama-sama, dari makna apa anda shalat tarawih berjamaah? Berdasar hadits dan ayat al Quran yang mana?</div></blockquote><blockquote><div dir="ltr">Kita <i>Ahlussunnah waljama'ah</i> berdoa, berdzikir, dengan <i>sirran wa jahran</i>, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama. Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt berfirman : </div></blockquote><div class="arab" dir="rtl">إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ</div><blockquote><i>Bila ia (hambaKu) menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok besar, maka Akupun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia"</i>. (HR Muslim).</blockquote><blockquote>Kita di majelis menjaharkan <i>lafadz</i> doa dan <i>munajat</i> untuk menyaingi panggung-panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka.. menangis menjilati sepatu dan air seni mereka.., suara suara itu menggema pula di televisi di rumah rumah muslimin, di mobil2, dan hampir di semua tempat,<br />
<br />
Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha Tunggal? Menggemakan nama Allah? Apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi? Mewakili banyak hadits tentang dzikir berjamaah ini, perhatikan dan camkanlah hadits ini:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخارى</div><blockquote><i>Sabda Rasulullah saw: "Sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar dimuka bumi mengikuti dan menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : "darimana kalian?" mereka menjawab : kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu,</i></blockquote><blockquote><i>Maka Allah bertanya: "Apa yg mereka minta", Malaikat berkata: mereka meminta sorga, Allah berkata: apakah mereka telah melihat sorgaku? Malaikat menjawab: tidak, Allah berkata: "Bagaimana bila mereka melihatnya". Malaikat berkata: mereka meminta perlindungan Mu, Allah berkata: "mereka meminta perlindungan dari apa?" Malaikat berkata: "dari Api neraka", Allah berkata: "apakah mereka telah melihat nerakaku?" Malaikat menjawab tidak, Allah berkata: Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat berkata: mereka beristighfar pada Mu, Allah berkata: "sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya, malaikat berkata: "wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka</i></blockquote><h3><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/risalah_amaliyah_nahdliyah-pcnu_malang-mar08.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_2"></a>Berdzikir, Berdoa dan Bersedekah untuk Mayat </h3><h4>Bagaimanakah hukum berdzikir atau berdoa untuk orang yang sudah meninggal dunia?</h4><blockquote>Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berdoa kepada Allah. Karena doa erupakah inti dari ibadah. Dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan olelh seorang mukmin itu ada doa. Bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa doa itu merupakan pedang bagi seorang muslim. Islam membolehkan berdoa atau dzikir untuk orang yang sudah mati. Dalam sebuah ayat dinyatakan:<br />
<i>Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami." </i>(QS. Al-Hasyr)<br />
<br />
Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa para sahabat pernah berdoa untu saudara-saudara mereka yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Ketika para sahabat melakukan hal itu, rasulullah pun tidak melarangnya. Nabi membiarkan dan membolehkannya. Perintah untuk mendoakan orang lain juga disebutkan dalam ayat:<br />
<i>"Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan."</i> (QS. Muhammad: 19)<br />
<br />
Nabi SAW.sendiri dalam beberapa haditsnya memerintahkan secara terang-terangan supya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur'an untuk orang yang telah meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut:<br />
Dari Mu'aqqol ibn Yassar ra.: <i>"barang siapa membaca surat yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantar kamu."</i> (Al-Baihaqi, Jami'us Shogir: bab Syu'abul Iman, Vol. 2, hal. 178, termasuk hadits shohih.)<br />
Senada dengan itu, dalam hadits lain Rasulullah juga menganjurkan kepada kaum muslimin untuk memohonkan ampunan bagi si mayit atas dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan saat hidup di dunia. Dari Utsman bin Affan ra, dia berkata:<br />
<i>"Ketika Rasulullah selesai menguburkan jeazah, maka beliau berdiam diri atas mayit, lalu bersabda, "mohon ampunlah kalian semua kepada Allah SWT.untuk saudaramu. Dan mohonlah ketetapan untuk mayit sesungguhnya saat ini dia sedang diberi pertanyaan."</i> (HR. Abu Daud dan Hakim, termasuk hadits shohih menurut Abu Daud, Bulughul Maram: 115/604)</blockquote><h4>Bagaimana hukum bersedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia?</h4><blockquote>Dalam islam, sedekah merupakan amalan mulia yang sangat dianjurkan, bahkan merupakan perintah yang harus dijalankan. Di dalam al-Qur'an digambarkan bahwa bersedekah merupakan salah satu cirri orang yang bertaqwa. Dengan kata lain seseorang tidak masuk dalam kategori bertaqwa (<i>muttaqin</i>) manakala ia tidak mau menyisihkan sebagian hartanya untk disedekahkan kepada orang yang berhak. Allah befirman:</blockquote><blockquote><i>"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan."</i> (QS. Ali- Imron: 133-134)<br />
<br />
Banyak hikmah yang dapat diambil dalam bersedekah. Oranng yang bersedekah tidak akan mengalami kerugian, baik materil maupun spiritual. Allah sendiri dalam wahyu-Nya menjanjkan mereka yang mau bersedekah untuk dilipatgandakan. Seseorang yang mensedekahkan hartanya digambarkan akan mendapatkan pahala berlipat-lipat ibarat dahan pohon yang memiliki tujuh ranting, dan setiap ranting memiliki seribu benih. Dalam ayat lain Allah secara tegas akan menjamin orang yang bersedekah, ia akan dilindungi dari kejahatan orang-orang dzalim.</blockquote><blockquote><i>"Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)."</i> (QS. A-Anfal : 60).<br />
<br />
Bersedekah tidak saja dapat dilakukan ketika masih hidup. Tetapi sedekah juga dapt dilakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Rasulullah pernah SAW.perah memerintah seseorang suaya bersedekah untuk keselamatan keluarganya yang telah meninggal dunia.<br />
<i>Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW. "Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?". Rasulullah SAW. Bersabda,"ya".</i> (Muttafaqu ‘alaih)<br />
Perintah rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akanpernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh rohnya. Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda:<br />
<i>'Tatkala manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya."</i> (HR. Muslim). </blockquote><h4>Apa hukum talqin (pengajaran) kepada mayit?</h4><blockquote>Di kalangan ulama ahli ijtihad, tidak ada perbedaan pendapat mengenai talqin (mengajarkan kalimal La ilaaha illa Allah) kepada orang yang sedang sekarat, berdasarkan hadits:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ بِلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ</div><blockquote><i>"Hendaklah kamu semua mengajarkan kepada orang-orang meninggal alian degan kalimat Laa ilaaha illa Allah(tidak ada Tuhan selain Allah)"</i></blockquote><blockquote>Adapun mengajari (talqin) orang yang baru dikuburkan menurut ulama madzhab Syafi'i, mayoritas ulama madzhab Hambali dan sebagian ulama madzhab Hanafi dan Maliki hukumya sunnah, berdasarkan riwayat At-Tabrani:</blockquote><blockquote><i>"Dari Abu Umamah ra., "Apabila salah seorang di antara saudaramu meninggal dunia dan tanah telah diratakan di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang diantara kamu berdiri di arah kepala, lalu ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama mayat dan nama ibunya). ‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak dapat menjawab. Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya dia duduk. Lalu ucapkan lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah kami, semoga Allah merahmatimu. Kemudian katakanlah "ingatlah apa yang kamu pertahankan saat meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan kerelaanmu trhadap Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, dan Al-Qur'an sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat munkar dan nakir saling berpegangan tangan dan berkata, ‘ayo pergi. Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan kepadanya jawabannya. Allah-lah yang dapat memintainya jawaban, bukan malikat munkar dan akir. Lalu ada seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana jika ibu si mayat tidak diketahui? Beliau menjawab, sambungkan nasabnya ke ibu Hawa.</i> (HR. At-Thabrani)</blockquote><blockquote>Hadits tersebut marfu', sekalipun dhoif, tetapi hadits ini boleh diamalkan dalam amal-amal kebaikan (fadhoilul a'mal) dan untuk mengingatkan orang-orang mukmin, dan juga mengingatkan firman Allah SWT:</blockquote><blockquote><i>"Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman."</i> (QS. Adz-Dzariyat: 55)<br />
<br />
Dan tentu saja nasehat yang paling dibutuhkan oleh setiap hamba adalah ketika baru saja dikebumikan. Imam ibnu Taimiyah dalam fatwa-fatwanya menjelaskan, sesungguhnya talqin sebagaimana tersebut diatas benar-benar dari sekelompok sahabat Nabi SAW.bahwa mereka menganjurkan talqin. Diatara mereka adalah Abu Umamah ra. Imam ibnu Taikiyah berkata, "Hadits-hadits yang menerangkan bahwa orang yang dalam kubur itu ditanya dan diuji dan perlu di doakan adalah sngat kuat. Oleh sebab itu talqin berguna baginya, sebab mayat itu dapat mendengar seruan, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shohih:</blockquote><blockquote><i>"Sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda: "Sesungguhnya mayat dalam kubur itu mendengar gesekan sandal-sandal kamu semua."</i></blockquote><blockquote>Sementara itu, dalam hadits yang lain disebutkan:</blockquote><blockquote><i>"Sesungguhnya beliau bersabda: "kamu semua tidaklah lebih mendengar apa yang kau ucapkan daripada mereka."</i></blockquote><h3><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/risalah_amaliyah_nahdliyah-pcnu_malang-mar08.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_3"></a>Tawasul</h3><h4>Apa arti tawasul dengan walinya Allah?</h4><blockquote>Tawasul dengan walinya Allah SWT artinya menjadikan para kekasih Allah sebagai perantara menuju kepada Allah SWT.dalam mencapai hajat, karena kedudukan dan kehormatan di sisi Allah yang mereka miliki, disertai keyakinan bahwa mereka adalah hamba dan makhluk Allah SWT.yang dijadikan oleh-Nya sebagai lambing kebaikan, barokah, dan pembuka kunci rahmat. Pada hakekatnya, orang yang bertawasul itu tidak meminta hajatnya dikabulkan kecuali kepada Allah SWT dan tetap berkeyakinan bahwa Allah-lah yang maha memberi dan Maha Menolak. Bukan yang lain-Nya. Ia menuju kepada Allah SWT.dan orang-orang yang dicintai Allah SWT, karana mereka lebih dekat kepada-Nya, dan Dia menerima doa mereka dan syafaatnya karena kecintaan-Nya. Allah SWT,mencintai orang-orang yang baik dan orang-orang yang bertaqwa. Dalam hadits qudsi disebutkan:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">ولا يزال عبدي يتقرّب إليّ بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذى سمع به وبصره الذى يبصر به ويده التى يبطش بها ورجله الذى يمشى بها ولئن سألني لأعطيته ولئن استعاذني لأعيذنه</div><blockquote><i>Hambaku tidak henti-hentinya mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya, dan penglihatanny yang ia melihat dengannya, kakinya yang ia berjalan dengannya. Apabila ia memohon kepada-Ku, maka aku berinya, dan jia meminta perlindungan, maka Aku berinya perlindungan."</i> (HR. Imam al-Bukhori). </blockquote><h4>Apa hukum tawasul dengan orang-orang yang dikasihi oleh Allah?</h4><blockquote>Tawasul dengan orang-orang yang dicintai Allah, seperti nabi-nabi dan orang-orang yang shalih itu boleh, berdasarkan ijma' ulama' kaum muslimin. Bahkan ia merupakan cara orang-orang mukmin yang diridloi. Tawasul itu telah dikenal sejak zaman dahulu dan sekarang.</blockquote><h4>Bagaimana halnya dengan orang yang beranggapan bahwa tawasul itu adalah syirik dan kufur, serta pelakunya adalah musyrik dan kafir?</h4><blockquote>Tidak dapat diteladani orang yang <i>nyleneh</i> dan berpisah dari jama'ah yang beranggapan bahwa <i>tawasul</i> adalah perbuatan syirik atau haram, lalu menghukumi musyrik orang-orang yang bertawasul. Ini jelas tidak benar dan batil, sebab anggapan seperti ini akan menimbulkan penilaian, bahwa sebagian umat Islam telah membuat kesepakatan (<i>ijma'</i>) atas perkara yang haram atau kemusyrikan. Hal demikian adalah mustahil, karena umat Muhammad ini telah mendapat jaminan tidak bakal membuat kesepakatan atas perbuatan sesat, berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW.seperti hadits:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">سألت ربي أن لايجمع أمتي على ضلالة فأعطانيها</div><blockquote><span style="font-style: normal;"><i>"Saya memohon kapada Tuhanku Allah, untuk tidak menghimpunkan umatku atas perkara sesat, dan Dia mengabulkan permohonanku itu."</i> (HR. Ahmad dan at-Thabrani).</span></blockquote><div class="arab" dir="rtl">لايجمع الله أمتي على ضلالة أبدا</div><blockquote><i>"Allah tidak menghimpunkan umatku untuk bersepakat atas perkara sesat selama-lamanya."</i> (HR.Imam al-Hakim).</blockquote><div class="arab" dir="rtl">ما رآه المسلمون حسنا فهوعهند الله حسن</div><blockquote><i>"Apa yang diyakini baik oleh orang-orang islam, maka menurut Allah juga baik."</i></blockquote><h4>Apakah ada dalil al-qur'an tentang tawasul?</h4><blockquote>Ya, ada. Adapun ayat al-Qur'an yang menunjukkan dibolehkan tawasul adalah ayat:</blockquote><blockquote><i>"</i><i>Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya."</i> (QS. Al-Maidah: 35)<br />
<br />
Ini adalah permintaan dari Allah, agar kita mencari <i>wasilah</i> (perantara), yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai sebab untuk mendekatkan kepada-Nya dan sampai pada terpenuhinya hajat dari-Nya. </blockquote><h4>Apakah tawasul itu terbatas pada amal perbuatan saja, tidak pada benda (Dzat)?</h4><blockquote>Tidak, karena ayat Al-Qur'an tersebut umum (‘<i>amm</i>) meliputi amal-amal perbuatan baik dan orang-orang shalih, yakni dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW.dan wali-wali Allah yang bertaqwa.</blockquote><blockquote>Adapun orang yang berpendapat boleh tawasul dengan amal perbuatan saja, sedangkan tawasul dengan dzat-dzat tidak boleh, dan ia membatasi maksud ayat pada pengertian pertama (tawasul dengan amal perbuatan), maka pendapat ini tidak berdsar, sebab ayat tersebut adalah mutlak. Bahkan membawa ayat kepada pengertian kedua (tawasul dengan dzat) itu lebih mendekati, sebab Allah dalam ayat ini memerintahkan taqwa dan mencari wasilah, sedang arti taqwa adalah mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Apabila kata <i>"Ibtighoul wasilah"</i> (mencari wasilah) kita artikan dengan amal-amal sholeh, berarti perintah dalam mencari wasilah hanya sekedar pengulangan dan pengukuhan. Tetapi jika lafad <i>"al-Wasilah"</i> ditafsirkan dzat-dzat yang ulia, maka ia berarti yang asal, dan akna inilah yang lebih diutamakan dan lebih didahulukan. Disamping itu apabila tawasul itu boleh dengan amal-amal perbuatan baik, padahal amal-amal perbuatan merupakan sifat yang diciptakan, maka dzat-dzat yang diridloi oleh Allahlebih berhak dibolehkan, mengingat ketinggian tingkat ketaatan, keyakinan dan ma'rifat dzat-dzat itu kepada Allah SWT, allah SWT.berfirman:</blockquote><blockquote>(QS. An-Nisa' : 64).</blockquote><blockquote>Ayat ini dengan jelas menerangkan dijadikannya RAsulullah sebagai wasilah kepada Allah SWT. Firman Allah <i>"Jaa-uuka"</i> (mereka dating kepadamu) dan <i>"Wastaghfaro lahumurrosuulu"</i> (dan Rasul memohokan ampun untuk mereka). Andaikata tidak demikian, maka apa kalimat <i>"Jaa-uuka"</i>. </blockquote><h4>Apakah tawasul itu dibolehkan secara umum, baik dengan orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati?</h4><blockquote>Ya, dibolehkan secara umum, karena ayat tersebut juga umum ('<i>amm</i>), ketika beliau masih hidup di dunia dan sesudah beliau wafat.</blockquote><blockquote>Telah dipastikan, bahwa para nabi dan para wali itu hidup dalam kubur mereka, dan arwah mereka di sisi Allah SWT. Barangsiapa tawasul dengan mereka dan menghadap kepada mereka, maka mereka menghadap kepada Allah dalam rangka tercapainya permintaannya. Dengan demikian, maka yang dimintai adalah Allah. Dia-lah yang berbuat dan yang mencipta, bukan lain-Nya. Sesunggguhnya kami golongan ahlussunnah wal jama'ah tidak meyakini adanya kekuasaan, penciptaan, manfaat, dan mudhorot kecuali milik Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Para Nabi dan para wali tidak memiliki kekuasaan apapun. Mereka hanya diambil berkah dan dimintai bantuan karena kedudukan mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang dicintai Allah, karena merekalah Allah memberi rahmat kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara mereka yang masih hidup atau mereka yang sudah meninggal dunia. Yang kuasa berbuat dalam dua kondisi tersebut hakekatnya adalah Allah, bukan mereaka yang hidup atau yang mati.</blockquote><blockquote>Adapun orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah meninggal, sepertinya mereka itu berkeyakinan bahwa orang-orang yang masih hidup memiliki kemampuan memberi pengaruh kepada orang lain sedangkan orang yang telah meninggal tidak. Keyakinan seperti ini batil, sebab Allah-lah pencipta segala sesuatu. </blockquote><h4>Apa tawasul dengan orang-orang yang telah meninggal itu diperbolehkan?</h4><blockquote>Dalilnya sebagaimana firman Allah:</blockquote><blockquote><i>"Sesungguhnya jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.</i>(QS.An-Nisa' :64).<br />
<br />
Ayat di atas adalah umum (<i>'amm</i>) mencakup pengertian ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat dan berpindahnya ke alam <i>barzakh</i>. Imam ibnu Al-Qoyyim dalam kitab <i>Zadul ma'ad</i> menyebutkan:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">عن أبي سعيد الخضريّ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم ما خرج رجل من بيته إلى الصلاة فقال اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت إلاّ وكّل الله به سبعين ألف ملك يستغفرون له وأقبل الله عليه بوجهه حتّى يقضي صلاته.</div><blockquote><i>"Dari Abu Sa'id al-Khudry, ia berkata, Rasulullah SAW.bersabda: "seseorang dari rumahnya hendak sholat dan membaca do'a:</i></blockquote><div class="arab" dir="rtl">اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت</div><blockquote><i><i>Kecuali Allah menugaskan 70.000 malaikat agar memohokan ampun untk oran tersebut, dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat".</i> (HR. Ibnu Majjah).</i></blockquote><blockquote>Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa do'a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan shalat adalah:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين....إلخ</div><blockquote>Para ulama; berkata, "ini adalah tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan memerintahkan mebaca do'a ini. Dansemua orang salaf dan sekarang selalu berdo'a dengan do'a ini ketika hendak pegi sholat."<br />
Abu Nu'aimah dalam kitab al-Ma'rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال لمّا ماتت فاطمة بنت أسد أم علي بن ابي طالب رضي الله عنهما -وذكر الحديث- وفيه: أنه صلى الله عليه وسلم اضطجع في قبرها وقال: الله الذى يحي ويميت وهو حيّ لايموت اغفر لأمّي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسّع مدخلها بحقّ نبيّك والأنبياء والمرسلين قبلي فإنك أرحم الراحمين</div><blockquote>Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, "ketika Fatimah binti Asad ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesungguhnya Nabi SAW berbaring diatas kuburannya dan bersabda:<br />
"Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Maha Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang."<br />
Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">بحقّ الأنبياء قبلي</div><blockquote><i>"Dengan hak para nabi sebelumku".</i></blockquote><h4>Jika tawasul dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din al-Khottob tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW?</h4><blockquote>Para ulama' telah menjelaskan hal ini juga, mereka berkata:</blockquote><blockquote>"Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah dalil larangan tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa. Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan ahli bait Rasulullah SAW.</blockquote><h4>Apa dalilnya?</h4><blockquote>Dalilnya adalah perbuatan para sahabat. Mereka selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau wafat.</blockquote><blockquote>Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah dengan sanad yang shohih:</blockquote><blockquote>"Sesungguhnya orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra dating ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata: "Ya rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa." Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan. Bilal lalu dating kepada kholifah Umara dan menyampaikan berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan."</blockquote><blockquote>Di mana letak penggunaan dalil hadits tersebut?Letak penggunaan dalil dr hadits tersebut adalah perbuatan Bilal bin Al-Harits, seorang sahabat Nabi SAW yang tidak diprotes oleh kholifah Umar maupun sahabat-sahabat Nabi lainnya. Imam ad-Darimi juga mentakhrij sebuah hadits:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">إن أهل المدينة قحطوا قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة رضي الله عنها فقالت انظروا إلى قبر النبيّ صلى الله عليه وسلّم فاجعلوا منه كوى إلى السماء حتى يكون بيبه وبين السماء سقف ففعلوا فمطروا مطرا شديدا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتي تفتقن فيسمّى عام الفتقة</div><blockquote><i>"Sesungguhnya penduduk Madinah mengalami paceklik yang amat parah, karena langka hujan. Mereka mengadu kepada Aisyah ra dan ia berkata: "lihatlah kamu semua ke kuburan Nabi SAW lalu buatlah lubang terbuka yang mengarah ke arah langit, sehingga antara kuburan beliau dan langit tidak ada atap yang menghalanginya. Meeka melaksanakan perintah Aisyah, kemudian mereka dituruni hujan yang sangat deras, hingga rumput-rumput tumbuh dan unta menjadi gemuk."</i></blockquote><i></i> Ringkasnya, tawasul itu dibolehkan, baik dengan amal perbuatan yang baik maupun dengan hamba-hamba Allah yang soleh, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Bahkan tawasul itu telah berlaku sebelum Nabi Muhammad diciptakan.<br />
<h4>Apa dalil bahwa tawasul terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW diciptakan?</h4><blockquote>Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khottob:</blockquote><blockquote><i>"Ketika Nabi Adam terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata, </i><br />
<i>"Hai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni kesalahanku."</i><br />
<i>Allah berfirman: "Bagaimana kamu mengetahui Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?" </i><br />
<i>Nabi Adam berkata: "Hai Tuhanku, karena Engkau ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku mengangkat kepalaku kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La ilaaha illa Allah. Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai." </i><br />
<i>Kemudian Allah berfirman: "Benar engkau hai adam. Muhammad adalah makhluk yang paing Aku cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan andaikata tidak karena Muhammad maka Aku tidak menciptakanmu." </i>(HR. al-Hakim, at-Thobroni dan al-Baihaqi). </blockquote><blockquote>Nabi Adam as adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.<br />
Imam Malik telah memberi anjuran <i>tawasul</i> kepada Khalifah al-Mansur, yaitu ketika ia ditanya oleh kholifah yang sedang berada di masjid Nabawi:<br />
Saya sebaiknya menghadap kiblat dan berdo'a atau menghadap Nabi SAW?"<br />
Imam Malik berkata kepada kholifah, "Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari beliau, padahal beliau adalah wasilahmu dan wasilah bapakku Nabi Adam as.kepada Allah SWT. Menghadaplah kepada beliau dan mohonlah pertolongan dengannya, Allah akan memberinya pertolongan dalam apa yang engkau minta."</blockquote><blockquote>Allah befirman:</blockquote><blockquote><i>"Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.</i>(QS.An-Nisa' :64).<br />
Keterangan ini disebutkan oleh al-Qodli ‘Iyadl dalam kitab as-Syifa'.</blockquote><h4>Bagaimana cara tawasul?</h4><blockquote>Para ulama telah menerangkan, bahwa tawasul dengan dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW, para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:</blockquote><ul><li>Memohon (berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka. Contoh:</li>
</ul><div class="arab" dir="rtl">اللهم إني أسألك بنبيك محمد أو بحقه عليك أو أتوجّه به إليك في كذا....</div><blockquote><i>"Ya Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad</i> <i>atau dengan hak beliau atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk..."</i></blockquote><ul><li>Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar terpenuhi hajat-hajatnya seperti:</li>
</ul><div class="arab" dir="rtl">يا رسول الله، ادع الله تعالى أن يستقينا أو...</div><blockquote><i>"Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau..."</i></blockquote><ul><li>Meminta sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya hanya sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng dijadikan wasilah dank arena doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua.</li>
</ul><blockquote>Tiga macam cara tawasul ini semua berdasarkan nash-nash yang shahih dan dalil-dalil yang jelas. Apa dalil tawasul dengan cara yang pertama?</blockquote><blockquote>Dalil tawasul dengan cara yang pertama adalah hadits-hadits Nabi SAW antara lain:</blockquote><i>"Dari Autsman bin Hunaif ra:</i><br />
<i></i><i>Sesungguhnya seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasululah, berdo'alah kepada Allah agar menyembuhkan saya." </i><br />
<i>Beliau bersabda, "Jika engkau mau, berdoalah. Dan jika engkau mau bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih baik untuk kamu." </i><br />
<i>Laki-laki itu berkata: "berdo'alah untuk saya, karena mataku benar-benar benar-benar memberatkan (merepotkan)ku." </i><br />
<i>Kemudian Nabi SAW memerintahkan si laki-laki itu agar berwudlu, shalat dua rakaat, lalu berdoa seperti doa dalam hadits yang arti doa itu adalah: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan hajatku ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah beliau dalam urusanku." </i><br />
<i>Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat."</i><br />
<blockquote>Renungkanlah bagaimana Nabi SAW tidak berdoa sendiri untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan kepadanya cara berdoa dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau dan memohon kepada Allah agar meminta bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan meminta bantuan dengan dzat Nabi Muhammad SAW.<br />
Ajaran <i>tawasul</i> dalam doa yang disebutkan pada hadits tersebut tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk umatnya seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman <i>rawi</i> dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan <i>hujjah</i> sebagaimana diuraikan dalam <i>ilmu ushul</i>.</blockquote><h4>Apa dalil tawasul dengan cara kedua?</h4><blockquote>Dalilnya banyak, diantaranya:<br />
<i>"Dari Anas ra.ia berkata:</i><br />
<i></i><i>Ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum'at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk dar pintu masjid dan langsung menghadap kepda Nabi SAW seraya berteriak: </i><br />
<i>"Hai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka berdoalah kepada Allah supaya menghujani kami. </i><br />
<i>Rasulullah SAW.lalu mengangkat tangan dan berdo'a, "Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali. </i><br />
<i>Anas berkata: "Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu juga hari berikutnya. </i><br />
<i>Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan berkata: "Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus. </i><br />
<i>"Kemudian Beliau berdoa: "Allah, turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas kita," kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di bawah sinar matahari.<b></b></i></blockquote><blockquote>Di dalam hadits yang shahih ini ada petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada Allah secara langsung, boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang yang dicintai Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat hamba-hambanya.<br />
Disamping itu, karena manusia ketika melihat dirinya masih berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang tentu saja merasa layak ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada Allah melaui orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah denga kedudukan dan kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya karena hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa kecuali ta'at kepada-Nya.</blockquote><h4>Apa dalil tawasul yang ketiga?</h4><blockquote>Dalilnya banyak antara lain:<br />
<i>Dari Rabi'ah bin Malik al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: "Mintalah apa saja yang kamu inginkan." Saya berkata: "Saya memohon kepada-Mu dapat bersama-Mu di surga." Beliau bersabda: "Selain itu?" Saya berkata: "Hanya itu." Kemudian beliau bersabda: "Bantulah saya untuk memenuhi keinginanmu dengan memperbanyak sujud." (HR. Imam Muslim).</i></blockquote><div class="arab" dir="rtl">أن قتادة نعمان أصيب بسهم في عينه عند يوم أحد فسالت على خدّه فجاء إلى رسول الله وقال عيني يارسول الله فخيره بين الصبر وبين أن يدعو له فاختار الدعاء فردّها عليه السلام بيده الشريفة إلى موضعها فعادت كما كانت</div><blockquote><i>Sesungguhnya Qotadah bin Nu'man pada waktu perang Uhud matanta terkena panah sampai keluar ke pipinya, lalu dating kepada Nabi SAW dan berkata: "mataku Ya Rasulullah." Beliau memberinya pilihan antara sabar dengan sakit pada matanya itu dan beliau berdoa untuk kesembuhannya. Qotadah memilih agar Rasulullah menyembuhkannya melalui doa. </i><i>Kemudian beliau mengembalikan mata Qotadah ke tempatnya semula dengan mata beliau yang mulia sehingga kembali normal seperti semula."</i></blockquote><h3><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/risalah_amaliyah_nahdliyah-pcnu_malang-mar08.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_4"></a>ZIARAH KUBUR </h3><h4>Apa hukum ziarah kubur?</h4><blockquote>Ziarah ke kuburan untuk orang laki-laki sunnah hukumnya. Sebelumnya, yaitu pada permulaan islam ziarah ke kubur memang dilarang. Lalu hukum larangan ini dinasakh dengan sabda Nabi SAW dan perbuatannya.</blockquote><blockquote>Ada beberapa hadits berkaitan dengan ziarah kuburan, antara lain:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها</div><blockquote><i>"Dulu saya telah melarang kamu semua ziarah ke kuburan, maka (sekarang) berziarahlah ke kuburan)."</i> (HR. imam Muslim)</blockquote><div class="arab" dir="rtl">كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها فإنها ترق القلب وتدمع العين وتذكر الأخرة</div><blockquote><i>"Dulu saya telah melarang kamu semua ziarah ke kuburan, maka (sekarang) berziarahlah ke kuburan, sebab ziarah kubur itu dapat melunakkan hati, mencucurkan air mata dan mengingatkan akhirat."</i></blockquote><blockquote>Para ulama menjelaskan bahwa ziarah ke kuburan itu termasuk hal yang biasa dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabat beliau juga melakukannya. Semasa beliau belum wafat, Nabi SAW juga mengajarkan kepada sahabatnya tata cara ziarah kubur, ntuk mengingat dan mengambil pelajaran. Sampai saat ini ziarah kubur itu masih berlaku di berbagai daerah, kota dan pedesaan.</blockquote><h4>Apa hukum ziarah kubur bagi kaum wanita?</h4><blockquote>Lama menerangkan, bahwa ziarah kubur bagi wanita itu makaruh hukumya, karena dikhawatirkan jiwanya selau sedih, mengingat kaum wanita gampang susah dan jarang yang bias menahan sabar terhadap musibah, terkecuali ziarah ke kuburan para wali, orang-orang sholeh dan lama. Mereka tetap disunahkan untuk mendapatkan barokah. Sebagian ulama membolehkan kaum wanita berziarah ke kubur secara mutlak, berdasarkan hadits Nabi SAW:</blockquote><div class="arab" dir="rtl">أنه صلى الله عليه وسلّم رأى امرأة بمقبرة تبكي على قبر ابنها فقال لها اتقى الله واصبري</div><blockquote><i>"Sesungguhnya Nabi SAW melihat seorang wanita di atas kuburan dengan menangis diatas kuburan anaknya, kemudian beliau bersabda kepadanya: "Takutlah kepada Allah dan bersabarlah". </i>HR. Bukhori dan Muslim).</blockquote><blockquote>Dalam hadits di atas, Rasulullah menyuruh wanita agar bersabar dan tidak mengingkarinya ziarah kubur.</blockquote><div class="arab" dir="rtl">السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منّا والمستأخرين وإنّا إن شاء الله بكم لاحقون</div><blockquote><i>"Sesungguhnya Nabi SAW mengajarkan Aisyah do'a ketika berziarah ke kuburan beliau bersabda: "ucapkan:</i></blockquote><h4>Bagaimana halnya dengan sabda Nabi SAW Allah melaknat wanita wanta peziarah kubur?</h4><i></i><br />
<blockquote><span style="font-weight: normal;">Menurut ulama <i>ahli tahqiq</i>, hadits tersebut ditakwil, jika ziarah wanita-wanita itu untuk meratapi dan menangisi yang meninggal, seperti yang berlaku di masyarakat jahiliyah, maka ziarah kubur seperti itu jelas haram berdasarkan ijma'. Apabila bersih dari hal-hal tersebut maka tidak diharamkan dan tidak termasuk dalam ancaman hadits tersebut. </span></blockquote><h4>Apa hukum melakukan perjalanan ziarah ke makan Rasulullah SAW, makam para Nabi dan para wali?</h4><blockquote><span style="font-weight: normal;">Ziarah ke makam Rasulullah SAW, merupakan salah satu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Demikian juga perjalanan menuju ke tempat beliau dan juga ke tempat-tempat para Nabi, para wali dan para syuhada' untuk mendapatkan barokah dari Allah dan mengambil I'tibar. Perjalanan seperti itu hukumnya mustahab dan banyak faedahnya. Yang terpenting adalah harus dapat menjaga adab (tata cara) menurut syari'at.</span></blockquote><h4>Apa dalil kesunahan perjalanan ziarah itu?</h4><blockquote><span style="font-weight: normal;">Dalilnya adalah firman Allah SWT: </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;"><i>"Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.</i>(QS.An-Nisa' :64). </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;">Dalam hadits pun telah dijelaskan, bahwa Nabi SAW tetap hidup di dalam kuburannya. Dengan demikian, berarti ziarah kepada beliau sesudah wafat seperti ziarah kepada beliau saat hidup. Dasarnya adalah hadits:</span></blockquote><div class="arab" dir="rtl">من حجّ فزار قبري بعد وفاتى فكأنما زارني في حياتي</div><blockquote><span style="font-weight: normal;"> <i>"Barangsiapa menunaiakan ibadah ahji, lalu ziarah ke kuburku sesudah aku wafat, maka ia seperti ziarah kepadaku sewaktu aku dalam keadaan hidup."</i> (HR. Thabrani).</span></blockquote><div class="arab" dir="rtl">من حج لم يزرني فقد جفاني</div><blockquote><span style="font-weight: normal;"><i>"Barangsiapa menunaikan ibadah haji dan enggan berziarah kepadaku, ia benar-benar juh."</i> </span></blockquote><h3><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/risalah_amaliyah_nahdliyah-pcnu_malang-mar08.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_5"></a>AL-Qur'an dan Shalat</h3><h4>Salah satu bentuk pengagungan al-qur'an adalah larangan menyentuhnya apabila tidak suci (hadats). Apakah dalil para ulama' terhadap hukum ini?</h4><blockquote><span style="font-weight: normal;">Larangan berasal dari firman Allah SWT:</span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;"><i>"Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. </i><i>Yamg diturunkan dari Tuhan semesta alam."</i> (QS. Al-Waqi'ah: 79-80). </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;">Atas dasar ini para ulama menyatakan bahwa haram hukumnya menyentuh Al-Qur'an bila tidak punya wudlu. </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;">Syaikh Zainudddin al-Malibari menyatakan: </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;"><i>"Haram sebab hadats kecil, melakukan sholat, thawaf, sujud (yakni sujud tilawah dan sujud syukur), membawa mushaf dan menyentuh kertas yang ditulisi ayat al-Qur'an, walaupun hanya sebagian ayat." </i>(fath al-Mu'in, hal 10).</span></blockquote><h4>Apakah menyentuh lain jenis dapat membatalkan wudlu?</h4><blockquote><span style="font-weight: normal;"><b></b>Menurut pendapat Imam Syafi'I ra, menyentuh lain jenis yang bukan mahram itu membatalkan wudlu, baik yang menyentuh atau orang yang disentuh. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-Fath al-Manhaji: </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;"><i>"Seorang lak-laki yang menyentuh istrinya atau perempuan ajnabiyah (yang bukan mahramnya) tanpa penghalang maka wudlu laki-laki dan perempuan itu menjadi batal. Yang dimaksud dengan ajnabiyah (perempuan lain) adalah setiap wanita yang halal dinikahi." </i>(al-Fiqh al-Manhaji, juz I, hal 63). </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;">Pendapat ini didasarkan firman Allah SWT.: <i> "Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)". (QS. An-Nisa' : 43).</i> </span></blockquote><h4>Bagaimana hukum mengucapkan niat (lafal usholli dan seterusnya) ketika hendak melakukan sholat?</h4><blockquote>Niat merupakan inti dari setiap pekerjaan. Sebab, baik tidaknya pekerjaan itu tergantung pada niatnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW.:</blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;"><i>"Segala perbuatan hanyalah tergantung niatnya. Dan setiap perkara tergantung pada apa yang diniatkan." </i>(Shohih al-Bukhori, no 1). </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;">Demikian juga dalam sholat. Niat adalah rukun yang pertama. Akan tetapi, karena niat tempatnya di dalam hati maka disunnahkan mengucapkan niat tersebut dengan lisan untuk membantu gerakan hati (niat). </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;">Imam Ramli (wafat tahun 1004 H.) dalam kitabnya <i>Nihayah al-Muhtaj</i> mengatakan: </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;"><i>"Disunnahkan mengucapkan apa yang diniati (kalimatusholli) sebelum takbir, agar supaya lisan bias membantu hati, sehingga bias terhindar dari was-was (keragu-raguan) hati akibat bisikan syetan). Dan agar bias keluar dari pendapat ulama yang mewajibkan.</i> </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;">Dalam beberapa kessempatan Nabi SAW pernah melafalkan niat. Misalnya dalam ibadah haji. Dalam sebuah hadits dijelaskan:</span></blockquote><div class="arab" dir="rtl">عن أنس رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلّم يقول لبّيك عمرة وحجا</div><blockquote><span style="font-weight: normal;"> <i>"Dari sahabat Anas ra berkata, saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan, Labbaika aku sengaja mengerjakan umrah dan haji." </i>(Shahih Muslim, no 2168).</span></blockquote><h4>Ketika melakukan ruku' dan sujud, disunahkan membaca tasbih (kalimat subhanallah).</h4>Hanya saja banyak orang yang menambah dengan tahmid (yaitu bacaan wa bihamdihi). Bagaimana hukum menambah bacaan tahmid tersebut?<br />
<blockquote><span style="font-weight: normal;"><b></b>Membaca tasbih ketika ruku' dan sujud memang sudah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW dalam shalat. Banyak hadits beliau yang menerangkan hal tersebut. Antara lain hadits beliau yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra:</span></blockquote><div class="arab" dir="rtl">عن عائشة رضي الله عنها قالت أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في ركوعه وسجوده: سبّوح قدّوس ربّ الملائكة والروح.</div><blockquote><span style="font-weight: normal;"><i>"Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, beliau berkata bahwa Rasulullah membaca subbuh quddus rab al-malaikat wa al-ruh ketika ruku' dan sujud." </i>(Musnad Ahmad bin Hambal, no 24877) </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;">Dalam hadits lain disebutkan: </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;"><i>"Diriwayatkan dari Hudzaifah ra, beliau berkata, "aku pernah shalat bersama Nabi SAW. Lalu beliau membaca subhana robbiyal adzimi dalam ruku'nya. Dan ketka sujud membaca subhana rab al-a'la. Dan setiap beliau membaca ayat rahmat, Nabi SAW diam lalu berdo'a (agar rahmat tersebut diberikan kepadanya), sedangkan pada saat membaca ayat tentang siksa Allah SWT (adzab) beliau selalu memohon perlindungan kepada Allah SWT." </i>(Sunan al-Darimi, no 1273). </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;">Kedua hadits ini tidak menyebutkan kata-kata <i>wabihamdihi</i>. </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;">Apakah lalu membaca <i>wabihamdihi</i> termasuk bid'ah. Karena tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW? Tentu saja tidak, sebab dalam hadits lain disebutkan:<i> </i></span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;"><i></i> <i>"Rabi' bin Nafi' menceritakan kepada kami, dari Uqbah bin Amir ra, beliau berkata: Bertasbihlah kamu kepada Tuhanmu Yang Maha Agung," Rasulullah SAW lalu bersabda, "Jadikanlah bacaan itu dalam setiap ruku'mu." Manakala turun ayat "Bertasbihlah kepada Tuhanmu Yang Maha Tinggi," Rasulullah kemudian bersabda, kerjakanlah perintah itu dalam setiap sujudmu." (ada riwayat lain) bahwa ahmad bin Yunus menceritakan kepada kami sebuah hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra dengan kandungan yang sama, beliau berkata bahwa Rasulullah SAW kalau ruku' beiau mengucapkan subhana robbi al- adzimi wa bihamdihi tiga kali." </i>(Sunan Abi Dawud, no 736). </span></blockquote><blockquote><span style="font-weight: normal;">Dari sini menjadi jelas bahwa Rasulullah SAW juga menambahkan <i>wabihamdihi</i> di dalam ruku' dan sujudnya.</span></blockquote><h4>Bagaimana hukum membaca basmalah (bismillahirrohmaanirrohiim) dalam surat al-Fatihah ketika sholat? Dan kalau wajib, apakah harus dikeraskan bacaannya? </h4><blockquote><span style="font-weight: normal;">Membaca surat al-Fatihah merupakan rukun sholat, baik dalam sholat fardlu maupun shalat sunnah, hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:</span></blockquote><div class="arab" dir="rtl">عن عبادة بن الصامت يبلغ به النبي صلى الله عليه وسلّم لاصلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب</div><blockquote><span style="font-weight: normal;"> <i>"Dari ‘Ubadah bin as-Sholit, Nabi SAW menyampaikan <span style="font-style: normal;"><i>padanya bahwa tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat al-Fatihah". </i>(Shohih Muslim, no 595). </span></i></span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Sementara basmalah merupakan ayat dari surat al-Fatihah. Maka tidak sah jika seseorang shalat tanpa membaca <i>basmalah</i> berdasarkan firman Allah SWT.:</span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;"><i>"Dan Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang[814] dan Al Quran yang agung."</i> (QS. Al-Hijr: 87). </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Yang dimaksud tujuh yang berulang-ulang adalah surat al-Fatihah. Karena al-Fatihah itu terdiri dari ayat-ayat yang dibaca secara berulang-ulang pada tiap-tiap raka'at shalat. Dan ayat yang pertama adalah basmalah. </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Dalam sebuah hadits disebutkan: </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;"><i>"Dari Abi Hurairah beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda, "al-hadulillahi robbil ‘alamiin merupakan induk al-Qur'an, pokoknya al-Kitab serta surat al-Sab'u al-Matsani."</i> (Sunan Abi Dawud, no 1245). </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Berdasarkan dalil ini, imam Syafi'I ra mengatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat yang tujuh dalam surat al-Fatihah, jika ditinggalkan baik seluruhnya maupun sebagian, maka raka'at shalatnya tidak sah.</span></blockquote><h4>Bagaimana hukumnya melafalkan sayyidina ketika membaca Tasyahud?</h4><blockquote><span style="font-style: normal;">Kata-kata sayyidina sering kali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun diluar shalat. Hal itu termasuk hal yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi SAW. <i>Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri </i>menyatakan: </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;"><i>"Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW) karena yang lebih utama (dengan menggunakan sayyidina itu) adalah cara beradab (bersopan santun pada Nabi SAW)."</i> (Hasyiyah al-Bajuri, juz I hal 156). </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:</span></blockquote><div class="arab" dir="rtl">عن ابي هريرة قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم أنا سيد ولد آدم يوم القيامة وأوّل من ينشق منه القبر وأوّل شافع وأوّل مشفع</div><blockquote><span style="font-style: normal;"><i>"Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Saya gusti (penghulu) anak Adam pada hari kiamat, orang yang pertama bangkit dari kuburan, orang yang pertama memberikan syafa'at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk memberikan syafa'at."</i> (Shohih Muslim, no 4223). </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Hadits ini menyatakan bahwa Nabi SAW menjadi Sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya di hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi tuan (sayyid) manusia di dunia dan akhirat. </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya <i>Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush bain al-Nadzariyat wa al-Tatthbiq:</i> </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;"><i>"Kata Sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk NAbi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits. "Saya adalah sayyid-nya anak cucu Adam di hari kiamat. Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan Adam di dunia dan akhirat". (Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush bain al- Nadzoriyat wa Tathbiq, 169)</i> </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu,. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca <i>sayyidina</i> katika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW bole-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika tasyahud di dalam shalat.</span></blockquote><h4>Ada sebagian kalangan yang beranggapan kalangan yang beranggapan bahwa qunut subuh tidak sunnah.</h4>Bahkan haram hukumnya, karena Rasulullah SAW tidak melakukannya. Bagaimanakah sebenarnya hokum membaca qunut dalam shalat subuh? Apakah benar Rsulullah tidak melakukannya?<br />
<blockquote>Ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa hukum membaca qunut pada sholat shubuh termasuh <i>sunnah ab'ad</i>. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al-<i>Majnu</i>':</blockquote><blockquote><i>"Dalam madzhab kita (madzhab Syafi'i) disunnahkan membaca qunut dalam sholat shubuh, baik ada bala' (cobaan, bencana, adzhab dll) maupun tidak, inilah pendapat kebanyakan ulama' salaf dan setelahnya. Diantaranya adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin al-Khottob, Utsman bin Affan, Ali bin Abbas dan al-Barro' bin ‘Azib ra."</i> (<i>al-Maju',</i>juz 1 hal 504).</blockquote><blockquote>Dalil yang bisa dijadikan acuan adalah hadits Nabi SAW:<br />
<i><span style="font-style: normal;"> </span>"Diriwayatakan dari Anas bin Malik ra beliau berkata, "Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut ketika sholat shubuh sehingga beliau wafat." </i>(Musnad Ahmad bin Hambal, no 12196).</blockquote><blockquote><div dir="ltr">Sedangkan do'a qunut yang warid (diajarkan langsung) oleh Nabi SAW adalah:</div></blockquote><div class="arab" dir="rtl">اللهمّ اهدنا فيمن هديت، وعافنا فيمن عافيت، وتولّنا فيمن تولّيت، وبارك لنا فيما أعطيت، وقنا شرّ ما قضيت، فإنك تقضى ولايقضى عليك، وإنه لايذلّ من واليت، ولايعزّ من عاديت، تباركت ربنا وتعاليت، فلك الحمد على ما قضيت، أستغفرك وأتوب إليك</div><blockquote><span style="font-style: normal;"><i>"Ya Allah berilah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami kesehatan seperti orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan. Berilah kami perlindungan sebagaimana orang-orang yang Engkau beri perlindungan. Berilah berkah kepada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segaa kejahatan yang Engkau pastikan. Sesunggunya Engkau Dzat Yang Maha Menentukan dan Egkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Kamu musuhi. Engkau Maha Suci dan Maha luhur. Segala puji bagi-Mu atas segala yang Engkau pastikan. Kami mohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu."</i> </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Dengan demikian membaca qunut shubuh dalam segala keadaan itu hukumnya sunnah. Karena Nabi Besar Muhammad SAW selalu melakukannya hingga beliau wafat. <b></b></span></blockquote><h4>Dalam tahiyat ketika membaca illallah, biasanya orang yang sholat mengangkat jari telunjuknya. Adakah dasar hukumnya? Lalu apa hikmah yang dikandung?</h4><blockquote><span style="font-style: normal;"> Ulama' Syafi'iyah menganjurkan untuk meletakkan kedua tangn diatas paha ketika sedang duduk tasyahud. Sementara jari-jari tangan kanan digenggam, kecuali jari-jari telunjuk dan ketika membaca <i>illallah</i> jari telunjuk tersebut sunnah diangkat tanpa digerak-gerakkan, dalam sebuah hadits dijelaskan: </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;"><i>"Diriwayatkan dari Ali bin Abdirrohman al-Mu'awi, beliau bercerita bahwa pada suatu saat Ibnu Umar ra melihat saya sedang mempermainkan kerikil ketika shoat. Ketika saya selesai shalat, beliau menegur saya lalu berkata, "(Apabila kamu sholat) maka kerjakan sebagaimana yang dilaksanakan Rasulullah SAW (dalam shalatnya). Ibnu Umar berkata, "Apabila Nabi Muhammad SAW duduk ketika melaksanakan sholat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya dan menggenggam semua jarinya. Kemudian berisyarah dengan (menganggkat) jari telunjukknya (ketika mengucapkan illallah), dan meletakkan telapak tangan kirinya diatas paha kirinya". </i>(Shahih Muslim, no 193). </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Hadits inilah yang dijadikan dasar para ulama tentang kesunahan mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud. Sedangkan dari hikmah tersebut adalah supaya kita meng-esakan Allah SWT. Seluruh tubuh kita men-tauhidkan-Nya dipandu oleh jari telunjuk itu. </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Syeikh Ibnu Ruslan dalam kitab <i>Zubad</i>nya mendendangkan sebuah syair:</span></blockquote><div class="arab" dir="rtl">وعند إلا الله فالمهملة (*) إرفع لتوحيد الذي صلّيت له</div><blockquote><span style="font-style: normal;"><i>"Ketika mengucapkan illallahu, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mengesakan Dzat yang engkau sembah."(Matan az-Zubad, hal 24).</i> </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Jadi, mengangkat jari telunjuk ketika tasyahud itu disunnahkan karena merupakan teladan Nabi Muhammad SAW. Perbuatan itu dimaksudkan sebagai symbol sarana untuk mentauhidkan Allah SWT. <b></b></span></blockquote><h4>Salah satu kebiasaan yang sering kita lihat, setiap selesai dalam shalat, orang-orang mengusap wajah dengan tangan kanannya. Bagaimana hukumnya?</h4><blockquote><span style="font-style: normal;">Setelah berdoa Rasulullullah SAW selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. Dalam sebuah hadits disebutkan:</span></blockquote><div class="arab" dir="rtl">عن السائب بن يزيد عن أبيه أنّ النبي صلّى الله عليه وسلّم كان إذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده</div><blockquote><span style="font-style: normal;"> <i>"Dari Sa'ib bin Zayid dari ayahnya, "Apabila Rasulullah SAW berdoa beliau selalu mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangnnya." </i>(Sunan Abu Dawud, no 1275). </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Begitu pula orang yang telah selesai melaksanakan shalat, ia juga disunahkan mengusap wajah dengan kedua tangannya. Sebab sholat secara bahasa berarti berdoa, karena didalamnya terkandung doa-doa kepada Allah SWT sang Kholik. Sehingga oaring yang mengerjakan sholat juga sedang berdoa. Maka wajar jika setelah sholat ia juga disunahkan mengusap muka. </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Imam Nawawi dalam kitab <i>al-Adzkar </i>mengutip hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW selalu mengusap wajah dengan tangan, sekaligus tentang doa yang beliau baca setelah salam:</span></blockquote><div class="arab" dir="rtl">عن عِمران بن حُصَين رضي الله عنه أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: صلّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنبك أى: لاتقطعون ذِكره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم</div><blockquote><span style="font-style: normal;"><i>"Kami meriwayatkan (hadits) dalam kitabnya Ibn al-Sunni dari sahabat Anas ra bahwa Rasulullah SAW apabila setelah selesai melaksanakan sholat beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya.. lalu berdoa, "saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kebingungan dan kesusahan." </i>(al-Adzkar, hal 69). </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Hal ini menjadi bukti bahwa mengusap muka setelah sholat memang dianjurkan dalam agama. Karena Nabi Muhammad SAW juga mengusap muka setelah shalat. <b></b></span></blockquote><h4>Sudah berlaku di masyarakat, setiap selesai sholat, satu jamaah dengan yang lainnya saling bersalaman. Itu dilaksanakan pada sholat yang lima waktu. Adakah dasar ukumnya?</h4><blockquote><span style="font-style: normal;">Bersalaman antar sesama muslim memang sangat dianjurkan oleh Nabi SAW. Hal itu dimaksudkan agar persaudaraan islam semakin kuat dan persatuan umat islam semakin kokoh. </span></blockquote><blockquote><i><span style="font-style: normal;">Salah satu bentuknya adalah anjuran untuk bersalaman apabila bertemu. Bahkan jika ada saudara muslim yang dating dari bepergian jauh, misalnya habis melaksanakan ibadah haji, maka disunahkan berangkulan (</span>mu'anaqoh<span style="font-style: normal;">). Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bbersabda:</span></i></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;"> <i>"Diriwayatkan dari al-Barro' bin ‘Azib, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda "Tidakkah dua orang laki-laki bertemu, kemudian keduannya bersalaman, kecuali diampuni dosanya sebelum mereka berpisah." (Sunan ibn Majah, no 3693).</i></span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;"><i></i> Berdasarkan hadits inilah ulama' Syafi'iyah mengatakan bahwa bersalaman setelah sholat hukumnya sunnah. Kalaupun perbuatan itu dikatakan bid'ah, tetapi termasuk dalam kategori bid'ah mubahah. Imam Nawawi menganggap bahwa hal itu adalah perbuatan yang baik untuk dilakukan.</span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;"> <i>"(Soal) apakah berjabat tangan setekah sholat Ashar dan Shubuh memiliki keutamaan ataukah tidak? (jawab) berjabat tangan itu sunnah dilakukan ketiak bertemu. Adapun orang-orang yang mengkhususkan diri untuk melakukannya setelah dua sholat itu (Ashar dan Shubuh) maka dianggap bid'ah mubahah. (pendapat yang dipilih), sesungguhnya kalua seseorang sudah berkumpul dan bertemu sebelum sholat, maka berjabat tnagn tersebut adalah bid'ah mubahah sebagaimana diatas. </i><i>Tapi jika sebelumnya belum pernah bertemu maka sunnah (bersalaman). Karena seperti itu (dianggap) baru bertemu." (Fatwa al-Imam al-Nawawi, hal 61).</i> </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang sholat itu sama dengan orang yag ghoib (tidak ada ditempat karena berpergian atau yang lainnya). Setelah sholat ia seakan akan baru datang dan bertemu dengan saudaranya yang muslim. Maka ketika tu dianjurkan untuk berjabat tangan. </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;">Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab <i>Bughyah al-Mustarsydin:</i> </span></blockquote><blockquote><span style="font-style: normal;"><i>"Bersalaman itu termasuk bid'ah yang muah, dan Imam al-Nawawi menganggapnya sesuatu yang baik. Tapi hendaknya di tafshil (diperinci), antara orang yang sebelum sholat sudah bertemu, maka salaman itu hukumnya ubah (boleh). Dan jika memang sebelumnya tidak bersama (tidak bertemu) maka dianjurkan (untuk salaman setelah salam). Karena salaman itu disunahkan ketika bertemu menurut ujma' ulama'. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang-orang yang sholat seperti orang-orang yang ghoib (tidak ada/tidak bertemu). Maka baginya disunahkan bersalaman setiap selesai sholat lima waktu secara mutlak (baik sudah bertemu sebelumnya atau tidak)." Bughyah al-Mustarsyidin, hal 50-51).</i> </span></blockquote><blockquote>Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum bersalaman setelah selesai sholat adalah boleh bahkan <i>sunnah</i> jika sebelum sholat memang belum pernah bertemu. </blockquote>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7952077414346619986.post-64080895490194823292010-05-27T20:16:00.001+07:002010-05-27T20:57:59.582+07:00Peningkatan Amal dari Ajaran AswajaSebagaimana kita ketahui bahwa ajaran dari agama Islam itu terdiri dari tiga macam, yaitu: <br />
<ol><li>Ajaran tentang Islam, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki nafsu (<i>homo animale</i>).</li>
<li>Ajaran tentang Imam, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki akal fikiran (<i>homo rationale</i>).</li>
<li>Ajaran tentang Ihsan, yang dipergunakan untuk membimbing manusia selaku makhluk yang memiliki budi pekerti, atau hati nurani, atau sarirah, atau 'ainul bashirah (<i>homo somatica</i>)</li>
</ol>Ketiga ajaran agama Islam tersebut, yaitu: Imam, Islam dan Ihsan, disebut sebagai Risalah Islamiyah atau<i></i><br />
<div style="text-align: justify;"><a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> </span><i>Fithrah Munazzalah</i>. Sedang ketiga unsur jiwa manusia tersebut, yaitu: nafsu, akal fikiran dan hati nurani, disebut sebagai <i>Fithrah Mukhallaqah</i>.</div><br />
Faham atau aliran Aswaja, dalam bidang: <br />
<ol><li>Keimanan, mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Abul Hasan Al Asy'ari, atau Imam Abu Mansur Al Maturidi.</li>
<li>Fiqih, mengikuti salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali.</li>
<li>Akhlaq/tasawwuf, mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Junaid Al Baghdadi dan Imam Al Ghozali serta orang-orang yang sefaham dengan kedua beliau.</li>
</ol>Tujuan utama dari Risalah Islamiyah itu adalah untuk membentuk Insan Kamil, yaitu manusia yang seluruh aspek hidup dan kehidupannya telah dijiwai oleh ketiga ajaran agama Islam. Untuk itu setiap muslim dituntut untuk melakukan peningkatan dalam ketiga bidang ajaran agama Islam tersebut, baik dari segi kwantitas maupun dari segi kwalitas. <br />
Peningkatan imam dari segi kwantitas, ialah dengan jalan mengamalkan <a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/cabang_iman/index.idx">cabang-cabang iman</a> sebanyak 77 cabang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh para ahli hadits sebagai berikut:<br />
<br />
<div class="teksArab">اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً ، اَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ اِلهَ إِلاَّ اللّهُ وَاَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيْمَانِ . رَوَاهُ الْمُحَدِّثُوْنَ . </div><i>Iman itu tujuh puluh tujuh cabangnya. Cabang yang paling utama adalah mengucapkan kalimah "Laa ilaaha illallaah" dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan. Dan malu berbuat maksiat adalah salah satu cabang dari iman. (H.R. para ahli hadits)</i> <br />
Ketujuh puluh tujuh cabang iman tersebut dituturkan oleh Syeikh Zainuddin bin Ali dalam kitab <b><i>Syu'abul Iman</i></b> sebagai berikut: <br />
<ol><li>Beriman kepada Allah.</li>
<li>Beriman kepada para malaikat.</li>
<li>Beriman kepada kitab-kitab Allah.</li>
<li>Beriman kepada para nabi.</li>
<li>Beriman kepada hari kiamat.</li>
<li>Beriman kepada kepada kebangkitan orang yang sudah mati.</li>
<li>Beriman kepada qadar.</li>
<li>Beriman bahwa para makhluk semuanya sesudah dibangkitkan dari kubur, akan digiring ke padang mahsyar, yaitu tempat pemberhentian mereka di hari kiamat.</li>
<li>Beriman bahwa sesungguhnya surga itu adalah tempat tinggal yang kekal bagi orang muslim.</li>
<li>Mencintai Allah ta'ala.</li>
<li>Takut kepada siksa Allah.</li>
<li>Mengharap rahmat Allah ta'ala.</li>
<li>Tawakkal.</li>
<li>Mencintai Nabi Muhammad saw. </li>
<li>Mengagungkan derajat Nabi Muhammad saw.</li>
<li>Bakhil dengan agama Islam.</li>
<li>Mencari ilmu;</li>
<li>Menyebarkan ilmu agama Islam.</li>
<li>Mengagungkan dan menghormati Al Qur'an.</li>
<li>Bersuci.</li>
<li>Menunaikan shalat lima waktu dengan sempurna.</li>
<li>Memberikan zakat kepada yang berhak menerimanya dengan niat yang khusus.</li>
<li>Berpuasa pada bulan Ramadlan.</li>
<li>I'tikaf.</li>
<li>Menunaikan ibadah haji.</li>
<li>Berjuang membela agama.</li>
<li>Mempertahankan garis demarkasi.</li>
<li>Tetap dalam memerangi musuh dan tidak lari dari medan pertempuran.</li>
<li>Memberikan seperlima dari harta rampasan perang.</li>
<li>Memerdekakan budak yang mu'min.</li>
<li>Membayar kafarat.</li>
<li>Memenuhi janji.</li>
<li>Bersyukur.</li>
<li>Menjaga lidah dari omongan yang tidak pantas.</li>
<li>Menjaga kemaluan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah.</li>
<li>Menunaikan amanat kepada yang berhak.</li>
<li>Meninggalkan membunuh orang muslim.</li>
<li>Menjaga diri dari makanan dan minuman yang diharamkan.</li>
<li>Menjaga diri dari harta yang haram.</li>
<li>Menjaga diri dari pakaian, perhiasan dan tempat (bejana) yang diharamkan.</li>
<li>Menjaga diri dari permaianan-permainan yang dilarang.</li>
<li>Sederhana dalam membelanjakan harta.</li>
<li>Meninggalkan dendam dan hasud.</li>
<li>Melarang mencela orang-orang muslim, baik di hadapan mereka atau tidak.</li>
<li>Ikhlas dalam beramal karena Allah ta'ala.</li>
<li>Senang sebab ta'at, susah sebab kehilangan ta'at dan menyesal sebab maksiat.</li>
<li>Bertaubat.</li>
<li>Menyembelih kurban, aqiqah dan hadiah.</li>
<li>Ta'at kepada ulil amri, mengenai perintah mereka yang berjalan menurut kaidah-kaidah syara', demikian pula ta'at kepada larangan mereka yang sesuai dengan kaidah-kaidah syara'.</li>
<li>Berpegang teguh pada apa yang telah disepakati jama'ah.</li>
<li>Menghukumi manusia dengan adil.</li>
<li>Menyuruh perkara yang telah diketahui kebaikannya dan melarang parkara yang mungkar.</li>
<li>Saling membantu dalam kebajikan dan ketaqwaan.</li>
<li>Malu kepada Allah.</li>
<li>Berbuat baik kepada kedua orang tua.</li>
<li>Silatur rahim.</li>
<li>Berbudi pekerti yang baik.</li>
<li>Berbuat baik kepada budak belian.</li>
<li>Ketaatan budak kepada majikannya.</li>
<li>Menjaga hak isteri dan anak-anak.</li>
<li>Menyintai ahli agama.</li>
<li>Menjawab salam dari orang-orang muslim.</li>
<li>Mengunjungi orang yang sakit.</li>
<li>Menyalati mmayit yang muslim.</li>
<li>Membacakan "tasymit" kepada orang yang bersin yang membaca "hamdalah".</li>
<li>Menjauhi setiap orang yang berbuat kerusakan.</li>
<li>Memuliakan tetangga.</li>
<li>Memuliakan tamu.</li>
<li>Menutupi cacat orang-orang muslim.</li>
<li>Sabar dalam menjalankan keta'atan sehingga dapat melaksanakannya.</li>
<li>Zuhud.</li>
<li>Cemburu dan tidak membiarkan isterinya bercumbu rayu dengan laki-laki lain.</li>
<li>Berpaling dari omongan yang tidak berguna.</li>
<li>Dermawan.</li>
<li>Menghormati orang tua dan menyayangi anak muda.</li>
<li>Mendamaikan pertikaian yang ada di antara orang-orang muslim.</li>
<li>Mencintai untuk orang lain apa saja yang dicintai untuk dirinya sendiri.</li>
</ol>Sedang meningkatkan kwalitas iman, adalah berusaha meningkatkan iman dari <i>'ilmul yaqin</i>, menjadi <i>'ainul yaqin</i> dan terakhir menjadi <i>haqqul yaqin</i>.<br />
<br />
Meningkatkan amal Islam dari segi kwantitas harus dilakukan dengan jalan mem-perbanyak jumlah amal ibadah yang dikerjakan dan berusaha untuk menjalankannya dengan istiqamah. Sedang meningkatkan amal Islam dari segi kwalitas harus dilakukan dengan jalan melakukan amal ibadah karena takut kepada siksa Allah, menjadi karena mengharapkan sorga Allah, dan terakhir karena semata-mata ingin mendekat-kan diri kepada Allah. <br />
Meningkatkan amal Ihsan dari segi kwantitas, harus dilakukana dengan jalan mem-bersihkan hati dari akhlak-akhlak yang tersela yang induknya oleh Imam Al Ghazali disebutkan sebanyak 10, kemudian menghiasi hatinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji yang induknya oleh Imam Al Ghazali disebutkan sebanyak 10. <br />
Sepuluh induk akhlak tercela: <br />
<ol><li>Tamak terhadap makanan</li>
<li>Tamak kepada omongan</li>
<li>Suka marah</li>
<li>Hasud</li>
<li>Bakhil dan senang harta</li>
<li>Ambisi dan gila hormat</li>
<li>Senang dunia</li>
<li>Ujub atau membanggakan diri</li>
<li>Takabur</li>
<li>Riya' atau mencari simpati dari selain Allah dengan amal ibadah<br />
Sepuluh induk akhlak terpuji:</li>
<li>Bertaubat</li>
<li>Khauf dan raja'</li>
<li>Zuhud</li>
<li>Sabar</li>
<li>Syukur</li>
<li>Ikhlas dan jujur</li>
<li>Tawakkal</li>
<li>Cinta kepada Allah</li>
<li>Rela kepada ketentuan Allah</li>
<li>Selalu mengingat mati dan hakekatnya<br />
Sedang meningkatkan amal Ihsan dari segi kualitas adalah berusaha meningkatkan diri dari tingkat orang awam menjadi orang shalih. Dari tingkat orang shalih menjadi orang yang bertaqwa. Dari orang yang bertaqwa menjadi orang yang mencintai Allah. Dari orang yang mencintai Allah menjadi ahli ma'rifat. </li>
</ol><b>Pemakalah:</b> <br />
<img align="left" height="36" src="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/images/kh_masduqi.jpg" style="padding-right: 10px;" width="36" /> H. Achmad Masduqi Machfudh<br />
Malang, 10 Agustus 1996Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7952077414346619986.post-22712990541311287612010-05-27T20:14:00.003+07:002010-05-27T20:58:50.069+07:00Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU: Dukungan KH Kholil Bangkalan terhadap KH. Hasyim Asy'ari<div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><i>Artikel ini dikutip dari buletin Nahdliyah yang diterbitkan PCNU Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006. Artikel ini dimuat kembali agar generasi muda NU dan simpatisannya semakin memahami NU dan mempertebal keimanan Ahlussunnah wal Jamaahnya.</i></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div></div><div style="text-align: justify;">Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku "NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam", melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya. </div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada<br />
<div style="text-align: justify;"><a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> </span>Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.</div></div><div style="text-align: justify;"></div><h4 style="text-align: justify;">Keresahan Kiai Hasyim</h4><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur. </div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya "dibaca" oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (<i>mukasyafah</i>). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.</div><div style="text-align: justify;"></div><h4 style="text-align: justify;">Tongkat “Musa”</h4><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">“Setelah membeerikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.</div><div style="text-align: justify;"><blockquote>Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”</blockquote></div><div style="text-align: justify;">Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keeping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat. </div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.</div><div style="text-align: justify;"></div><h4 style="text-align: justify;">Bapak Spiritual</h4><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Selain memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul (peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Dalam ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih. Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Kecenderungan yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah. Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Karena itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Sebagai ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Selain kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas: </div><div style="text-align: justify;"><blockquote>“Barangsiapa mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”</blockquote></div><div style="text-align: justify;">Lebih tegas beliau menyatakan: </div><div style="text-align: justify;"><blockquote>“Orang yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan <i>sir al-khushusiyyah</i> (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”</blockquote></div><div style="text-align: justify;">Demikian pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur, tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Mengapa masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya, menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim. </div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Wallahu a’lam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><b>Penulis</b>: <br />
<i>Moh. Syaiful Bakhri</i></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><i>Penulis buku "Syaikhona Cholil Bangkalan: Ulama Legendaris dari Madura" dan sekretaris Lajnah Ta'lif Wan Nasr NU Kabupaten Pasuruan. Pemuatan artikel ini juga merupakan penghormatan dan dukungan moril kepada PCNU Kab. Pasuruan yang berusaha mendorong terciptanya masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlakul karimah dengan menerbitkan buletin dua bulanan. Semoga usaha penerbitan ini bisa istiqamah.</i></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7952077414346619986.post-67857154916786408302010-05-27T20:12:00.004+07:002010-05-27T21:00:30.106+07:00Ahlus Sunnah wal Jamaah & Ijtihad<span style="font-size: small;"></span><br />
<div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sebagian kecil masyarakat ada yang mengidentikkan pengertian <i>Ahlus Sunnah wal Jamaah</i> dengan masalah <i>khilafiyah</i> sekitar <i>tahlil, talqin, qunut</i>, bacaan <i>ushalli</i> dalam mengawali salat, dan lain sebagainya. Sebenarnya masalah yang terkait dengan <i>Ahlus sunnah wal jamaah</i> jauh lebih mendasar, bukan hanya permasalahan yang sering dipertentangkan sebagai <i>khilafiyah</i> tersebut. Karena itu kiranya generasi muda perlu mendapatkan pemahaman yang wajar tentang masalah ini guna menghindari pertikaian, perselisihan, dan </span><br />
<div style="text-align: justify;"><a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> percekcokan yang tidak diketahui permasalahan yang sebenarnya.</span></div></div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Asal kata</span></h3><div></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Nabi Muhammad saw dalam salah satu haditsnya bersabda bahwa umat Islam nantinya terpecah dalam berbagai kelompok yang berbeda pendapat sebanyak 73 golongan. Dari seluruh golongan tersebut, yang selamat, tidak di neraka, hanya satu yaitu yang disebut dengan <i>Ahlus Sunnah wal Jamaah</i>, Ketika ditanya tentang artinya, beliau menjawab singkat: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="teksArab" style="text-align: right;">مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ </div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i>Segala yang aku berada di atasnya sekarang bersama para sahabatku, atau segala yang aku lakukan bersama sahabat-sahabatku.</i></span> </div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
<span style="font-size: small;">Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">istilah <i>ahlus sunnah wal jamaah</i> sudah pernah dipergunakan oleh Nabi saw sendiri.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">secara garis besar sudah diterangkan pula artinya. </span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/aswaja.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_2"></a> </span></h3><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pengertian</span></h3><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Berdasar hadits tersebut dapat diuraikan pengertian sebagai berikut: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Kata <i><b>ahlun</b></i>, ahlu atau ahli, berarti kaum atau golongan.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Kata <i><b>assunnah</b></i> artinya tingkah laku, kebiasaan, ucapan, perbuatan atau sikap Nabi saw. Sama persis dengan arti hadits, bahkan ada pendapat bahwa assunnah lebih mendalam dari pada hadits, yaitu sikap yang berulang-ulang menjadi kebiasaan atau karakteristik.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Kata <i><b>wa</b></i> atau <i>wal</i> adalah kata sambung, berarti "dan".</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Kata <i><b>aljamaah</b></i>, semula berarti kelompok. Dalam hal ini pengertiannya sudah mengkhusus menjadi kelompok sahabat Nabi. Istilah sahabat Nabi artinya sudah mengkhusus pula, yaitu mereka yang beriman kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan beliau.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/aswaja.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_3"></a>Analisis</span></h3><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Arti kata demi kata tersebut dapat dianalisis sebagai berikut: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Kata <i><b>ahlu</b></i> sudah jelas.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Kata <i><b>assunnah</b></i> dalam arti sempit hanya mencakup hadits, belum mencakup al-Quran, sumber pertama dari ajaran Islam. Tetapi kalau diingat bahwa Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah tidak pernah seujung rambut pun berbeda sikap dengan firman Allah (al-Quran), maka dapat dipastikan bahwa mengikuti assunnah pasti mengikuti al-Quran. Bahkan al-Quran itu dapat sampai kepada kita melalui beliau. Jadi <b><i>ahlussunnah</i></b> pasti <i><b>ahlul Quran</b></i>, tidak bisa lain.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Kata <b><i>wa</i></b> menunjukkan bahwa kedua hal yang disebut sebelum dan sesudahnya adalah sama, meskipun tidak sederajat.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Kata <b><i>aljamaah</i></b> berarti para sahabat, terutama sahabat terkemuka. Mereka adalah orang-orang paling dekat dan selalu bersama Nabi. Mereka buka saja membaca atau mendengar sesuatu hadits, tetapi juga menghayati sesuatu yang tersurat pada hadits karena para sahabat, terutama sahabat terkemuka mengetahui: </span></li>
<ul><li><span style="font-size: small;">sebab musabab sesuatu hadits timbul,</span></li>
<li><span style="font-size: small;">situasi pada saat timbul sesuatu hadits, dan </span></li>
<li><span style="font-size: small;">hubungan sesuatu hadits dengan hadits yang lain, dengan ayat al-Quran, dengan kebiasaan atau tingkah laku Nabi sehari-hari dan sebagainya.</span></li>
</ul></ul><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Kalau kita membaca sebuah hadits diibaratkan melihat sebuah potret, maka mereka lebih mengetahui obyek yang dipotret dan mengenal daerah sekitarnya, mengenal orang-orang yang ada pada potret itu. Mereka lebih menghayati hadits atau sunnah. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Faktor penghayatan mereka sangat penting sekali nilainya sebagai bahan pertimbangan utama untuk menyimpulkan sesuatu pendapat mengenai arti sesuatu hadits. Memang penghayatan atau pendapat para sahabat terkemuka tidak termasuk sumber hukum agama Islam sebagaimana al-Quran dan al-Hadits yang sahih. Tetapi mengabaikan atau meremehkan pendapat/penghayatan para sahabat terkemuka adalah suatu sikap yang kurang bijaksana. Apalagi kalau pengabaian atau peremehan hanya berdasar atas pendapat pihak yang meyakinkan penghayatan dan ketajaman analisisnya. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Bukan suatu hal yang mustahil ada sesuatu sikap atau tingkah laku Nabi yang dilihat dan dihayati oleh para sahabat terkemuka tetapi beritanya tidak sampai kepada kita. Mungkin tidak terbaca oleh kita, atau mungkin tidak tercatat oleh para pencatat hadits. Itulah antara lain sebabnya, masalah tarawih 20 rakaat, berdasar pendapat atau penghayatan sahabat Umar bin Khattab dan tidak ditentang oleh para sahabat lainnya diterima sebagai sesuatu yang benar. Demikian pula adzan dua kali untuk salat Jumat berdasar pendapat sahabat Utsman bin Affan. Sudah tentu <i>nash sharih</i> selalu didahulukan dari pendapat siapa pun. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Penilaian yang tinggi terhadap penghayatan para sahabat terbukti dengan bunyi hadits di atas, yang oleh Nabi sendiri dirangkaikan antara <b>assunnah</b> dengan <b>aljamaah</b>. Nabi pernah bersabda yang maksudnya bahwa para sahabatnya adalah ibarat bintang-bintang, yang dengan siapa saja kalau kamu sekalian mau ikut, maka kamu sekalian akan mendapat petunjuk. Meskipun demikian, tetaplah al-Hadits merupakan sumber kedua dari agama Islam di samping al-Quran, sedangkan penghayatan para sahabat terkemuka adalah petunjuk utama untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Dengan pengertian inilah kata <b>assunnah</b> dengan <b>aljamaa</b> dirangkaikan. Assunnah diartikan sebagaimana diuraikan di atas, dan aljamaah diartikan penghayatan dan amalan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk pembantu untuk mencapai ketepatan memahami dan mengamalkan assunnah. Oleh karena itu disimpulkan pengertian: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;"><b>assunnah wal jamaah</b>: persis sama dengan </span><br />
<br />
<div class="teksArab">مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ </div></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> , yaitu: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><ol style="text-align: justify;"><ol><li><span style="font-size: small;">ajaran yang dibawa, dikembangkan, dan diamalkan oleh Nabi Muhammad saw, dan </span></li>
<li><span style="font-size: small;">dihayati, diikuti, dan diamalkan pula oleh para sahabat.</span></li>
</ol></ol><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;"><b>ahlussunnah wal jamaah</b> ialah golongan yang berusaha selalu berada pada garis kebenaran <i>assunnah wal jamaah</i>.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Secara popular dan mudah, tetapi berbau reklame dan agitasi dapat dirumuskan bahwa <b>ahlussunnah wal jamaah</b> adalah golongan yang paling setia kepada Nabi Muhammad saw. </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/aswaja.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_4"></a>Proses perkembangan</span></h3><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sinyalemen Nabi tentang golongan dan perbedaan yang timbul ternyata benar. Maklum, bahwa hal yang disabdakan oleh beliau selalu berdasar wahyu Allah. Setelah beliau wafat mulai timbul orang-orang yang kemudian menjadi kelompok dan golongan, yang berangsur-angsur membedakan diri, memisahkan diri, dan mulai menyimpang dari garis lurus <i>assunnah wal jamaah</i>. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Faktor utama yang menyebabkan pembedaan, pemisahan, dan penyimpangan ialah sikap <i>tatharruf</i> atau ekstrimisme, berlebih-lebihan di dalam memegang pendirian atau melakukan sesuatu perbuatan. Sebagaimana adat dunia, tiap ada yang berlebihan ke kanan, biasanya timbul pihak yang berlebihan ke kiri. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Hal yang menonjol dalam sejarah ialah kebangkitan golongan <b>Syiah</b> yang berlebihan mencintai famili Nabi, sehingga menyalahkan sahabat Abu Bakar ra dan lain-lain. Sikap berlebihan ini makin lama makin hebat dan menimbulkan tandingan yang berlebihan pula, tetapi berlawanan arah. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Kemudian muncul golongan <b>Khawarij</b> yang terlalu kaku, radikal. Semula mereka tergolong Syiah, tetapi ketika ada usaha kompromi antara Syiah dan anti Syiah, maka golongan ini melepaskan diri dan menamakan diri Khawarij. Kalau golongan Syiah dapat disebut terlalu emosional sentimental atau terlalu mengikuti perasaan, maka golongan Khawarij dapat disebut terlalu radikal anarkis yang memusuhi semua pihak, tidak mau diatur. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Pada zaman berikutnya muncul lagi golongan <b>Mu'tazilah</b> yang terlalu memuja akal, sehingga kalau ada dalil nash yaitu al-Quran dan al-Hadits yang tidak atau kurang sesuai dengan selera pikiran, maka dipaksakan penafsiran menurut selera mereka yang terlalu rasionalistis. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Semula perbedaan atau penyimpangan kecil, makin lama membesar dan makin parah. Tiap penyimpangan disusul dengan penyimpangan, bercabang-cabang menjadi semrawut. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Hal-hal lain yang menambah keparahan perbedaan atau penyimpangan, bahkan penyelewengan dan bentrokan adalah: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Kepentingan famili, politik, dan kekuasaan, Kepentingan politik telah menimbulkan golongan pro dan kontra Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, berkelanjutan dengan golongan Umawiyah dan Abbasiyah.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Infiltrasi kaum munafik yang berpura-pura Islam. Infiltrasi kaum munafik secara halus telah banyak menimbulkan pertentangan antara lain pernah ada 'anti Aisyah'.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Sisa-sisa kepercayaan lama dan <i>israiliyat</i> yang sedikit banyak masih ada pada pemeluk Islam baru dari berbagai unsur seperti Majusi, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain terselundup di kalangan kaum muslimin baik disengaja maupun tidak. Dongeng-dongeng yang tidak ada dasarnya dalam Islam adakalanya dianggap seperti dari Islam.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Pengaruh filsafat barat, Yunani. Filsafat Yunani yang diungsikan dari barat karena dimusuhi oleh kaum Masehi banyak diterima, diterjemahkan, dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Islam. Disamping kemajuan berpikir yang positif, hal ini berakibatsampingan timbul sikap terlalu akal-akalan sehingga akidah Islam yang mudah dan logis menjadi rumit dan sulit.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Disamping penyimpangan dan penyelewengan yang semrawut, masih cukup kuat dan besar kaum muslim yang tetap berada pada jalan lurus dengan tokoh para ulama <i>shalihin mukhlishin</i>, ahli agama yang beramal saleh dan yang ikhlas. Mereka juga disebut ulama salaf yang berusaha, berjuang, dan bekerja keras memelihara, mempertahankan, menyiarkan, dan mengembangkan <i>assunnah wal jamaah</i> serta membentengi umat Islam dari unsur-unsur penyelewengan. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/aswaja.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_5"></a>Prinsip kebenaran</span></h3><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Selain perjuangan praktis insidental mengajarkan assunnah wal jamaah dan menolak serangan atau penyelewengan, mereka juga berusaha keras mempersenjatai umat Islam dengan prinsip, metoda, dan haluan untuk tetap berada pada garis kebenaran <i>assunnah wal jamaah</i> agar terbentengi dari penyelewengan. Metoda, haluan atau pedoman dimaksud antara lain: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;"><b><i>nash</i> yang <i>qath'iy</i></b>, yaitu al-Quran dan hadits sahih yang jelas tegas artinya selalu didahulukan.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;"><b><i>ar-ra'yu</i></b>, akal pikiran dipergunakan dalam hal nash tidak <i>qath'iy</i> atau tidak ada /nash/nya.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">penggunaan <i>ar-ra'yu</i> untuk menyimpulkan hukum agama yang lazim disebut <b>ijtihad</b> hanya dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat yang ketat supaya hasilnya selalu berada pada garis kebenaran <i>assunnah wal jamaah</i>.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">bagi yang tidak mampu memenuhi syarat tersebut dipersilakan mengikuti hasil ijtihad para ahli yang memenuhi syarat.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">sikap <b><i>tawassuth</i></b> yaitu sikap tegak lurus yang tidak membelok ke kanan atau ke kiri dan sikap <b><i>tawazun</i></b></span> yaitu sikap berkeseimbangan yang tidak berat sebelah harus selalu menjadi pedoman dalam segala hal ketika menghadapi segala masalah agar tidak terjerumus kepada penyelewengan.</li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Metoda yang dibekalkan oleh para ulama <i>salaf, shalihin, mukhlishin</i> kepada umat Islam adalah agar selalu berada pada garis kebenaran <i>assunnah wal jamaah</i>. Tokoh paling terkenal di kalangan Islam yang pendapat dan hasil ijtihadnya diakui oleh dunia Islam sepanjang sejarah sebagai pendapat yang berada pada garis kebenaran <i>assunnah wal jamaah</i> antara lain: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Bidang akidah, tauhid, atau kepercayaan: <b>Imam Abul Hasan al-Asy'ariy</b> dan <b>Imam Abu Mansur al-Maturidiy</b>.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Bidang syariah, fikih, atau hukum: <b>Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi'iy</b>, dan <b>Imam Hambali</b>.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sebenarnya masih banyak lagi selain yang disebut di atas, namun merekalah yang paling terkenal yang pendapat, hasil ijtihadnya, dan hasil perumusannya dapat dibukukan serta dipelajari sampai sekarang. </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/aswaja.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_6"></a>Argumentasi</span></h3><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Berdasarkan pedoman yang telah dibekalkan oleh para ulama <i>salaf shalihin mukhlishin</i> tersebut dapat dikemukakan argumentasi: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> 1. <b>Nash qath'iy</b> yang harus didahulukan sebelum penggunaan akal pikiran adalah memang sudah menjadi konsekuensi wajar atas syahadat kita, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Quran; dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Hadits. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> 2. <b>Ar-ra'yu</b> yang dipergunakan adalah berdasar hadits ketika Nabi Muhammad saw mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman. Sahabat tersebut memberikan jawaban atas ujian yang dilakukan oleh Nabi, bahwa ia akan selalu memberikan hukum berdasar al-Quran dan al-Hadits; kalau tidak ditemukan maka dia akan berijtihad yaitu menggunakan ra'yu. Nabi membenarkan jawaban sahabat Muadz. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> 3. Penggunaan <i>ar-ra'yu</i> yang harus dilakukan dengan memenuhi syarat ketat adalah wajar, karena dalam hal ini yang dicari bukanlah hal-hal duniawi tetapi hukum agama yang membawa konsekuensi <i>ukhrawi</i>. Hadits Nabi menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran dengan pendapat atau selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka. Kesembronoan dalam menggunakan <i>ra'yu</i> atau ijtihad akan membawa konsekuensi yang berat, bukan saja dosa akibat salah karena sembrono, tetapi juga dosa para pengikutnya yang harus terpikul. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> 4. Keharusan seseorang yang tidak mampu memenuhi syarat berijtihad sendiri dan dipersilakan untuk mengikuti pendapat para ahli agama yang ahli ijtihad adalah wajar. Orang yang tidak tahu harus bertanya kepada yang tahu, yang tidak ahli harus bertanya kepada yang ahli. Firman Allah dalam al-Anbiya' ayat 7 yang artinya: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="quote" style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Bertanyalah kepada ahli agama kalau kamu sekalian tidak tahu. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Siapakah yang ahli agama itu? Mereka adalah para ulama mujtahidin, yang memenuhi persyaratan ijtihad dan hasil ijtihadnya dapat diketahui dengan mudah karena terbukukan dengan lengkap. Mengikuti hasil ijtihad ahli agama inilah yang disebut bermadzhab atau <i>taklid</i>. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> 5. Umat Islam yang harus bersikap <i>tawassuth</i>, jalan tengah lurus, dan <i>tawazun</i>, berkeseimbangan, adalah memang watak atau karakteristik agama Islam dan demikian pula perintah Allah. Banyak ayat yang menunjukkan karakteristik Islam dan kaum muslim. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa tiap kebenaran itu selalu berada di tengah-tengah antara dua kesalahan. Kebenaran selalu berada pada yang berkeseimbangan. Sikap <i>tawassuth</i> dan <i>tawazun</i> adalah karakteristik yang menonjol bagi ahlus sunnah wal jamaah dalam semua bidang. Bahkan gaya hidup dan kehidupannya ditandai dengan karakter ini. Sudah barang tentu sikap <i>tawassuth</i> harus tidak menyeleweng dari kaidah agama yang lebih mutlak. </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/aswaja.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_7"></a>Perilaku <i>ahlus sunnah wal jamaah</i></span></h3><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Seorang <i>ahlus sunnah wal jamaah</i> dalam realisasi kongkrit berperilaku sebagai berikut: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><ol style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Mula-mula belajar pada seorang ulama atau guru agama yang memberikan pelajaran berdasar atas hasil ijtihad seorang mujtahid dan menerima kebenaran semua pelajaran tersebut.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Kemudian mempelajari dalil yang menjadi dasar pelajaran tersebut sehingga lebih mantap.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Bagi yang berkemampuan atau berkesempatan dapat dilanjutkan dengan memperbanding sesuatu pedapat dengan pendapat lain, menilai argumentasinya dan seterusnya.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Mungkin kalau benar-benar dapat mencapai syarat-syarat kemampuan dan keikhlasan dapat berijtihad sendiri. Tetapi pada umumnya hanya sampai kepada kemampuan 'punya pendapat' sendiri di dalam satu hal tetapi masih dalam rangkaian pendapat para mujtahid sebelumnya.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Berhati-hati dalam mengemukakan sesuatu pendapat sendiri karena harus pula mengakui kekuatan pendapat pihak lain sehingga selalu bersikap toleran, <i>tawassuth</i>, dan <i>tawazun</i>.</span></li>
</ol><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Dengan berbekal pedoman dari ulama salaf dalam proses pembinaan yang berabad-abad lamanya, terwujudlah golongan yang lazim disebut kaum kiyahi dengan santri-santrinya yang pada umumnya disebut dan menyebut diri ahlus sunnah wal jamaah. Suatu sebutan yang sama sekali tidak salah, tetapi harus segera diingatkan bahwa <i>ahlus sunnah wal jamaah</i> tidaklah terbatas hanya pada mereka saja. Mereka dengan tekun dan penuh disiplin ketat belajar dan memperdalam ilmu agama Islam serta pengamalannya menurut garis <i>assunnah wal jamaah</i>. Tetapi setiap muslim dapat menjadi <i>ahlus sunnah wal jamaah</i> yang baik asal mau mengikuti jejak dan mengikuti bekal yang diberikan oleh ulama salaf, tokoh pembela dan pejuang assunnah wal jamaah. Dengan mengikuti jejak mereka kita akan tetap berada di atas garis kebenaran <i>assunnah wal jamaah</i>. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Anggapan bahwa <i>ahlus sunnah wal jamaah</i> tidak menggunakan akal pikirannya, hanya bertaklid buta saja, adalah suatu anggapan yang keliru. Anggapan bahwa kaum kiyahi dan santri tidak tahu dalil sesuatu masalah, hanya ikut-ikutan saja adalah anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Mungkin di kalangan mereka masih sedikit orang yang pandai berkomunikasi, berdialog, dan menyampaikan pikirannya dalam media massa modern seperti buku, majalah, dan sebagainya dengan menggunakan bahasa banyak dan mudah dipahami oleh masyarakat yang disebut masyarakat modern. Mereka lebih mengarahkan sasaran komunikasinya di kalangan intern. Hal ini merupakan tantangan bagi ahlus sunnah wal jamaah dan juga bagi semua pihak agar komunikasi menjadi lebih lancar, lebih terbuka, dan lebih baik. Saling pengertian yang lebih baik secara timbal balik sangat diperlukan. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Kaum muslim di Indonesia wajib melipatgandakan rasa syukur kepada Allah, karena pada umumnya tidak terdapat perbedaan pendapat yang besar dalam masalah keagamaan. Hal yang perlu kita garap adalah penyempurnaan kehidupan beragama kita, bukan mempertajam perbedaan pendapat. Untuk itu perlu memperdalam pengetahuan dan memperbanyak amal keagamaan, bukan perdebatan yang emosional. Diharapkan pengertian bagi generasi muda Islam terhadap hal seperti ini agar tidak membuat sempalan sendiri dengan jaringan liberal. </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/aswaja.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_8"></a>Berijtihad vs bermadzhab</span></h3><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Berbicara tentang ahlus sunnah wal jamaah lazim dikaitkan dengan masalah ijtihad dan madzhab. Memang kedua hal tersebut ada hubungannya. Ijtihad yang pada uraian yang lalu diartikan juga penggunaan <i>ra'yu</i> adalah usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran dan/atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas, tegas, atau <i>qath'iy</i>, pasti. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada <i>nash sharih</i> dan <i>qath'iy</i> dalam al-Quran dan/atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan <i>ijma'</i> atau kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen. </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/aswaja.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_9"></a>Persyaratan ijtihad</span></h3><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sebagaimana diuraikan sebelumnya, menurut <i>ahlus sunnah wal jamaah</i> bahwa ijtihad atau penggunaan <i>ra'yu</i><i>assunnah wal jamaah</i>. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada pokoknya adalah: </span> dalam menyimpulkan hukum agama harus disertai persyaratan yang ketat agar hasilnya tidak menyalahi </div><div style="text-align: justify;"></div><ol style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Semuanya dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran, bukan sekedar mencari-cari argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan selera dan nafsu atau kepentingan lain.</span></li>
</ol><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Jika dikomparasikan dengan produsen, persyaratan yang diperlukan adalan memiliki bahan baku, pengetahuan tentang bahan, dan teknologi yang benar untuk menghasilkan produksi yang benar dan bermanfaat. Kiranya tidak sulit dipastikan bahwa tidak semua orang dapat dan mampu melakukan ijtihad. Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu ada dua alternatif: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan. Jumlah mereka sangat sedikit.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Menerima dan mengikuti hasil ijtihad atau madzhab orang lain, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan juga menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam melakukannya, setidak-tidaknya pada waktu permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Mungkin ada orang yang merasa mampu berijtihad sendiri. Tetapi kalau diteliti, seringkali baru mencapai taraf 'merasa' mampu, namun belum benar-benar mampu. Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamaah mengambil haluan bermadzhab bagi kebanyakan kaum muslimin, yang dapat dilakukan oleh semua orang. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Bermadzhab sering disebut dengan bertaklid. Pengertian taklid hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ulama, kiyahi, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran tersebut dari al-Quran dan al-Hadits. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi'iy. Jadi, ada tingkatan bermadzhab. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Ada alternatif lain yang disebut <i>ittiba'</i>, yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Beberapa hal yang dapat dikemukakan tentang <i>ittiba'</i> antara lain: </span></div><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan <i>ittiba'</i> adalah sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba' atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan <i>ittiba'</i>?</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Sebenarnya <i>ittiba'</i> adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa <i>ittiba'</i> tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga.</span></li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Kalau kita hayati kenyatannya, perbedaan faham mengenai masalah ijtihad dan taklid atau bermadzhab lebih banyak bersifat teoritis saja, sedangkan dalam praktek tidak banyak berbeda. Tak ada pihak anti ijtihad dan anti bermadzhab dalam arti murni dan mutlak. Pihak yang menamakan diri golongan bermadzhab sesungguhnya ingin juga mampu berijtihad karena hal tersebut diperintahkan agama sebagaimana disebut dalam hadits. Namun ketahudirian dan melihat kenyataan kemampuan yang dimiliki, ditempuhlah jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Jalan tersebut adalah sistem bermadzhab. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Pihak yang menamakan diri sebagai golongan ijtihad sebenarnya dalam kenyataannya tidak mampu berijtihad sendiri. Mereka tetap mengikuti hasil ijtihad orang lain juga, melepaskan diri dari madzhab lama dan mengikuti madzhab baru. Di antara mereka ada yang dapat mengerti atau mengetahui beberapa dalil serta argumentasi 'hasil ijtihad' baru, tetapi lebih banyak yang tidak mengetahuinya. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Pertentangan yang timbul biasanya tidak bertitik tolak pada inti masalah, namun sudah berada di luarnya. Permasalahan yang timbul sering disebabkan ulah dan sikap mereka yang sok tahu, tetapi sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Penyakit lain di kalangan umat Islam yang sangat mengganggu usaha kerukunan umat adalah terlalu berorientasi atau berkiblat kepada kepentingan golongan dan kurang berorientasi kepada pendirian keagamaan dan kepada agama. Upaya yang dilakukan adalah terlalu ingin memenangkan golongan masing-masing atau orang-orang di dalam golongan tersebut dan kurang terarah kepada kemenangan agama Islam dan pendirian keagamaan. Mereka akhirnya merasa puas kalau berhasil menyingkirkan golongan atau orang lain dan dapat merebut posisinya tanpa banyak memikirkan apakah posisi tersebut menguntungkan atau merugikan umat dan agama. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Penyakit yang sangat parah tersebut menghasung upaya pembinaan generasi muda yang penuh pengertian atas tanggung jawabnya pada masa depan. Penanganan dan pemupukan serta pengembangan bibit pengertian ke arah persatuan umat mutlak diperlukan demi kejayaan umat masa depan. Di tengah kerisauan menghadapi masalah generasi muda yang terkadang merisaukan kiranya perlu dipelihara sikap optimisme. Jika sikap optimisme hilang, maka menyebabkan kehilangan antusiasme, semangat, dan gairah yang berakibat kehilangan segala-galanya. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sepanjang sejarah, tiap generasi tua yang pasti akan mengakhiri kiprahnya dalam peredaran zaman selalu melihat dengan telti kesalahan generasi muda yang akan menggantikan dengan penuh rasa khawatir. Kekhawatiran seperti itu adalah wajar, namun tidak boleh berlebihan yang dapat mengarah kepada peremehan, tidak percaya kepada generasi muda yang pasti akan menggantikan. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Karena itu generasi tua yang sadar akan memberikan bimbingan dengan penuh kasih sayang dan penuh kepercayaan. Dengan demikian tidak perlu meremehkan dan mencurigai generasi muda. Keberhasilan generasi tua dapat diceritakan, namun kegagalannya tidak boleh disembunyikan. Hal ini dimaksudkan untuk membuat generasi muda dapat mengambil pelajaran secara wajar, baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan atau kebelumberhasilan generasi tua. Keberhasilan perlu dikembangkan dan kegagalan perlu dipelajari penyebabnya serta dicari solusi agar dapat keluar dari kegagalan. </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/aswaja.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_10"></a>Reorientasi agamawi</span></h3><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Salah satu hal yang dipandang belum berhasil adalah kerukunan umat secara mantap. Berulangkali umat Islam Indonesia berhasil membentuk wadah kerukunan, namun belum berhasil memelihara dan mengembangkannya secara mantap. Melihat gelagat yang dapat dibaca dari situasi dunia Islam pada umumnya dan kaum muslimin Indonesia khususnya, kita dapat menancapkan harapan bahwa proses sejarah mengarah kepada masa depan Islam yang gemilang. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Terkadang kita perlu prihatin melihat beberapa kondisi yang tidak mengenakkan, terutama melihat posisi berbagai organisasi Islam, meski potensi sesuatu umat tidak hanya bergantung kepada posisi organisasinya saja. Banyak faktor lain yang ikut menentukan potensi tersebut. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Mari kita coba untuk merenungkan diri kembali. Orientasi umat Islam yang selama ini terpencar dan berserakan kiranya perlu dikembalikan ke pusatnya, yaitu masalah agamawi, atau berorientasi agamawi. Kita perlu berusaha dan bekerja keras, belajar, dan berupaya meningkatkan potensi agama Islam di Indonesia. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Perjuangan untuk menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan potensi agama dan umat bukan hanya tugas satu generasi saja. Perjuangan adalah tugas seluruh generasi secara berkesinambungan. Generasi tua harus sadar bahwa umur dan kesempatan sudah hampir pupus dan pada gilirannya pasti habis. Kemudi dan tanggung jawab pasti beralih ke tangan generasi muda, bagaimana pun kondisi generasi muda saat ini. </span></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Karena itu kiranya perlu menjadikan generasi muda sebagai manusia sejarah dan manusia pejuang yang sanggup berdiri sendiri. Mereka tidak boleh menjadi anak-anak yang hanya pandai membanggakan hasil karya nenek moyangnya. Pepatah Arab mengatakan: </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="teksArab" style="text-align: right;">اِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا اَنَا ذَا * <span style="font-size: small;"> لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ اَبِيْ ... </span> </div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i>Generasi muda ialah mereka yang berani berkata: "Inilah aku!", bukan mereka yang hanya dapat berkata: "Aku keturunan tokoh anu ..."</i></span> </div><div style="text-align: justify;"></div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><a href="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/aswaja.single?seemore=y#TOC0" name="toc_0_11"></a> </span></h3><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kesimpulan</span></h3><div style="text-align: justify;"></div><ol style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;"><i>Ahlus sunnah wal jamaah</i> adalah golongan yang selalu berusaha tetap di atas garis kebenaran <i>assunnah wal jamaah</i>, yaitu yang mempergunakan dasar al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber utama agama Islam serta penghayatan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Penggunaan <i>ar-ra'yu</i> atau akal untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu masalah yang tidak ada nash sharih/jelas dalam al-Quran dan al-Hadits disebut dengan ijtihad; yang dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain qiyas/analogi dan ijmak atau kesepakatan para mujtahid. Karena hanya sedikit orang yang mampu memenuhi persyaratan mujtahid, maka ada alternatif untuk menerima dan mengikuti hasil ijtihad orang lain yang disebut dengan bermadzhab.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Generasi muda perlu memahami akar masalah antara mampu berijtihad, merasa mampu berijtihad, atau tahu diri tentang kemampuannya dalam memahami masalah agama agar tidak terjadi pertikaian dan membuat kelompok-kelompok baru yang menyendiri.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Generasi tua perlu memberikan bimbingan terhadap generasi muda yang pada gilirannya akan menggantikan kemudi dalam perjalanan sejarah berikutnya, bagaimanapun kondisi keberagamaan generasi mudanya saat ditinggalkan.</span></li>
</ol><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>Penyusun</b></span> <span style="font-size: small;"><br />
A. Muchith Muzadi (Jember, 21 Muharram 1395)<br />
<b>Editor:</b></span> <span style="font-size: small;"><br />
Ahmed Machfudh(Jakarta, 21 Dzulhijjah 1425) </span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7952077414346619986.post-65451287269784683282010-05-27T19:57:00.000+07:002010-05-27T19:57:40.739+07:00KH. Achmad Masduqi Machfudz<span style="font-size: small;"></span><div> </div><div style="text-align: justify;"> <span style="font-size: small;"><img align="right" border="0" height="200" src="http://pesantren.or.id.42303.masterweb.net/ppssnh.malang/images/kh_masduqi_biografi.jpg" width="138" /></span> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> KH. Drs. Achmad Masduqi Machfudz dilahirkan di desa Saripan (Syarifan) Jepara Jawa Tengah pada 1 Juli 1935. Di desa tersebut, terdapat sebuah makam kuno yang banyak dikenal orang dengan Mbah Jenggolo. Alkisah, berkat karomah dari Mbah Jenggolo ini, dulu ketika baru ada radio dan televisi, siapa saja yang membawa ke desa ini pasti gila. Penyakit gila ini baru akan sembuh kalau kedua alat elektronik dikeluarkan dari Saripan. Keadaan seperti ini masih bisa ditemui semasa Kyai Masduqi masih kecil. Namun perlahan-perlahan seiring dengan perubahan zaman, karomah ini berangsur surut hingga hilang sama sekali. </span></div><div style="text-align: justify;"> <a name='more'></a> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Melihat lingkungannya yang seperti itu, ditambah dengan lingkungan keluarga yang taat dan fanatik terhadap agama serta memiliki semangat juang yang tinggi untuk menegakkan kebenaran dan menyebarkan agama Allah. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Jalur Keturunan dari Ayah</span></h3><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Jika dilihat dari jalur keturunan Ayah ini, tidak dapat diketahui secara terperinci tetapi yang jelas seluruh keluarga beliau adalah termasuk orang-orang yang gigih berjuang dalam mensyiarkan agama Allah. Jalur keturunan ayah ini terputus hingga kakek beliau saja. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Kakek beliau ini termasuk tokoh agama yang disegani dalam lingkungan masyarakat mereka. Perjuangannya tidak hanya terhadap orang awam saja, melainkan kepada seluruh lapisan masyarakat bahkan yang jahat sekalipun. Beliau bahkan dengan gigih menaklukkan orang-orang jahat yang banyak berkeliaran saat itu. Hingga beliau mampu merubah pola tingkah laku mereka itu menjadi orang yang taat menjalankan agama Allah. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Semangat jihad, fanatik dan ketaatan menjalankan agama serta keberanian membela kebenaran ini secara terus menerus ditempa dan ditekankan oleh Kyai Machfudz, Kyai Masduqi. Maka tidak heran bila sifat-sifat tersebut sangat melekat pada diri Kyai Masduqi dalam menegakkan agama Allah. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Jalur Keturunan dari Ibu</span></h3><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Bila ditelusuri dari garis keturunan ibu ini dapat dilihat dari Syeikh Abdullah al Asyik Ibn Muhammad. Beliau adalah seorang Jogoboyo dari kerajaan Mataram. Al kisah salah satu keampuhan beliau adalah setiap ada mara bahaya yang akan mengancam kerajaan, beliau memukul bedug untuk mengingatkan penduduk dari cukup dari rumahnya. Suara bedug ini terdengar keseantero kerajaan Mataram. Pada makamnya yang terletak di Tayu Pati, tertulis "Makom niki dipun bangun Bagus Salman bongso jin" (makam ini dibangun Bagus Salman bangsa Jin). </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Dari Syeikh Abdullah al Asyik inilah menurunkan nenek KH. Achmad Masduqi Machfudz yaitu Nyai Taslimah. Dikalangan masyarakat Nyai Taslimah sebagai seorang pewaris perjuangan Syeikh Abdullah al Asyik Ibn Muhammad, dikenal sebagai seorang penyebar agama. Ditangannya tidak sedikit orang yang diislamkan. Mereka yang asalnya belum beragama dengan baik akhirnya menjadi santri Nyai Taslimah. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Dari pernikahannya dengan Kyai Asmo Dul, Nyai Taslimah dikaruniai dua rang putri, yaitu Chafshoh dan Masfufah. Beliau juga mengangkat seorang anak angkat yang bernama Suyuti. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Putri beliau yang pertama; Chafsoh dipersunting oleh Kyai Machfudz, putra dari Bapak Arso Husein dengan Ibu Saumi. Dari pernikahan ini, keduanya dikarunia 14 putra-putri. Mereka ini adalah: </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Muainamah (Alm)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Achmad Fahrurrazi (Alm)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Khadijah (Alm)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Achmad Masduqi (Malang)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Sa'adah (Jepara)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Achmad Said (Alm)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Sofiyah (Jepara)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Achmad Shohib (Alm)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Achmad Zahid (Malang)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Achmed Mas'udi (Jakarta)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Achmad Zahri (Alm)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Achmad Maskuri (Alm)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Aslihah (Malang)</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Achmad Mujab (Jepara)</span></li>
</ol><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Dari keempat belas putra-putri Nyai Chafsoh ini, tujuh diantaranya meninggal dunia ketika masih kecil dan remaja. Kyai Masduqi merupakan putra keempat dan merupakan putra sulung yang hidup. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kehidupan Keluarga KH. Achmad Masduqi Machfudz</span></h3><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> KH. Achmad Masduqie Machfudz, terkenal seorang yang dalam kehidupan sehari-hari cukup sederhana. Corak kehidupan keluarga yang beliau bangun sama sekali jauh dari citra kemewahan. Kesederhanaan yang dicitrakan Kyai Machfudz sangat membias pada keluarga Kyai Masduqi. Terlebih sejak kecil, Kyai Masduqi sangat gigih dalam menekuni bidang keilmuan terutama ilmu agama. Salah satu prinsip hidup beliau adalah: "Kalau kita sudah meraih berbagai macam ilmu terlebih ilmu agama, maka kebahagiaan yang akan kita capai tidak saja kebahagiaan akhirat, akan tetapi kebahagiaan duniapun akan teraih. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Chasinah putri dari KH. Chamzawi Umar pada 7 Juli 1957 dalam usia 22 tahun, beliau dikaruniau 9 orang anak, yaitu: <a class="bloxanchor" href="" name="mushaddaq"></a></span> </div><ol style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;"><b>Mushoddaqul Umam, S.Pd</b> dilahirkan di Tarakan Kalimantan Timur, tanggal 21 Juli 1958. Saat ini di kediamannya di Jl. Danau Kerinci IV, E15, disamping kesibukan sehari-hari menjadi Wakil Kepala Sekolah SMU 10 dan pengajar pada MA Al Maarif Singosari, Sarjana strata satu bahasa Inggris yang pernah mondok di Pesantren Roudlotul Tolibin Rembang ini, juga merintis majlis Ta'lim untuk orang tua dan siswa SD, SMP, SMU dan Mahasiswa. <a class="bloxanchor" href="" name="luthfillah"></a></span></li>
<li><span style="font-size: small;"><b>Muhammad Luthfillah, SE</b>, dilahirkan di Rembang Jawa Tengah pada tanggal 28 Oktober 1959. Sarjana Ekonomi dari UNIBRAW yang sebelumnya menempuh pendidikan di Pesantren Roudlotul Tolibin Rembang ini, saat ini menjadi pengurus PP.Pagar Nusa dan anggota DPRD Jatim dari fraksi FKB. <a class="bloxanchor" href="" name="niam"></a></span></li>
<li><span style="font-size: small;"><b>dr. Moch. Shobachun Niam Sp.B</b>. dilahirkan di Samarinda Kalimantan Timur pada 25 Agustus 1961, sambil berdinas di RSU Polmas Sulawesi, alumnus Pesantren Roudlotut Tolibin Rembang ini juga menjadi pengurus wilayah NU Sulawesi Selatan. <a class="bloxanchor" href="" name="taqiyyudin"></a></span></li>
<li><span style="font-size: small;"><b>M. Taqiyyuddin Alawiy</b>, dilahirkan di Malang pada 8 April 1963. Setelah menyelesaikan studi di Pesantren Al Anwar Sarang Rembang, meneruskan studi di Fakultas Tehnik UNISMA Malang. Saat ini, disamping menjadi dosen di Institusi yang sama, juga menjadi Rais Syuriah MWC Kedung Kandang Malang. <a class="bloxanchor" href="" name="ana"></a></span></li>
<li><span style="font-size: small;"><b>Dra. Roudlotul Hasanah</b>, dilahirkan di Malang pada 8 Maret 1965, setelah mondok di Pesantren Tambakberas Jombang, memperoleh gelar Sarjana Bahasa Inggris di IAIN Malang (sekarang UIIS), dalam kesehariaannya mengajar di MTSN Sepanjang Gondalegi Malang juga menjadi salah seorang tenaga pengajar pada Pesantren Nurul Huda Malang. <a class="bloxanchor" href="" name="isyroq"></a></span></li>
<li><span style="font-size: small;"><b>Isyroqunnadjah, M.Ag</b>. dilahirkan di Malang pada 18 Februari 1967, menyelesaikan studi S2 di PPS IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saat ini alumnus Pesantren Lirboyo Kediri ini, disamping menjadi Ketua Program Bahasa Arab pada UIIS, juga menjadi wakil sekretaris Rabithah Maahidil Islam, Cabang Malang. <a class="bloxanchor" href="" name="badiah"></a></span></li>
<li><span style="font-size: small;"><b>Dra. Badiatus Shidqoh</b>, dilahirkan di Malang pada 11 April 1968. saat ini alumnus Pesantren Tambakberas Jombang ini menjadi tenaga pengajar pada STIE Malangkucecwara Malang. <a class="bloxanchor" href="" name="fitri"></a></span></li>
<li><span style="font-size: small;"><b>Fauchatul Fithriyyah. S.Ag</b>. dilahirkan di Malang pada 25 Agustus 1970, Memperoleh gelar sarjana di STAIN Malang (sekarang UIIS) setelah sebelumnya mondok di PP. Maslakul Huda Kajen Pati Jateng, mengelola beberapa TPQ binaan Pesantren Nurul Huda, juga menjadi tenaga pengajar pada Pesantren Nurul Huda Malang. <a class="bloxanchor" href="" name="shampton"></a></span></li>
<li><span style="font-size: small;"><b>Achmad Shampton Mas, SHI</b>. dilahirkan di Malang pada 23 April 1972, selepas SMP, mondok di Pesantren Lirboyo Kediri dan beberapa Pesantren di sekitar Kediri. Memperoleh gelar sarjana di STAIN Malang (sekarang UIIS), saat ini menjadi khodim Pesantren Nurul Huda</span></li>
</ol><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Sebelum memasuki dunia perkuliahan seluruh putra dan putri beliau tanpa kecuali diharuskan mengenyam pendidikan di pesantren. Ini merupakan prinsip yang ditanamkan Kyai Masduqi para putra putrinya. Dari pengalaman mengaji di pesantren ini, meskipun background pendidikan putra putri beliau beragam, mereka mampu menjalankan amanah dakwah di tengah-tengah masyarakat. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pendidikan Formal</span></h3><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> KH. Achmad Masduqi Machfudz terlahir di tengah-tengah keluarga religius yang taat dan fanatik terhadap agama Islam. Sehingga sejak kecil beliau sudah dihiasi dengan tingkah laku, sikap dan pandangan hidup ala santri. Karena itu pula, Kyai Machfudz orang tua beliau tidak menghendaki Kyai Masduqi kecil untuk bersekolah di sekolah umum, cukup di sekolah agama saja. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Tetapi larangan orang tua ini tidak mematahkan semangat Kyai Masduqi kecil untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang tidak terbatas hanya dibidang agama saja. Dengan semangat tinggi, Kyai Masduqi menimba ilmu di pesantren dan sekolah umum dengan biaya sendiri dengan menyempatkan berkeliling menjual sabun dan kebutuhan yang lain tanpa sepengetahuan kyai atau orang tuanya sendiri. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Adapun pendidikan formal yang telah beliau selesaikan antara lain: </span></div><ol style="text-align: justify;"><li><span style="font-size: small;">Sekolah Rakyat di Jepara, 1942 - 1948</span></li>
<li><span style="font-size: small;">SMP di Jepara, 1950 - 1953</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA) di Yogyakarta, 1953 - 1957</span></li>
<li><span style="font-size: small;">IAIN Sunan Ampel Malang, 1962 - 1966</span></li>
<li><span style="font-size: small;">IAIN Sunan Ampel Malang (program doktoral) 1975 - 1977</span></li>
</ol><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Ketekunan, keuletan dan semangat juang yang tinggi, Kyai Masduqi akhirnya mampu meraih berbagai macam ilmu pengetahuan baik dibidang agama maupun pengetahuan umum. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><h3 style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pendidikan non Formal </span></h3><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> KH. Achmad Masduqi Mahfudz sejak berusia 5 tahun tepatnya pada tahun 1939 sudah diselenggarakan di madrasah ibtidaiyah di kampungnya yang pada waktu itu dikenal dengan istilah "Sekolah Arab", karena di sini pelajarannya semua berbahasa arab. Beliau belajar di sekolah ini selama kurang lebih lima tahun yaitu dari tahun 1939-1944, di sinilah beliau mulai mempelajari dasar-dasar berbahasa arab dan agama Islam. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Kemudian setelah beliau menyelesaikan sekolahnya dan mempunyai dasar yang cukup, beliau meneruskan belajarnya di pondok pesantren Jepara. Di sini beliau belajar kurang lebih selama 8 tahun, yakni dari tahun 1945 - 1953, dan menyelesaikan Madrasah Tsanawiyah pondok selama 3 tahun. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Pondok pesantren Jepara ini diasuh oleh Kyai Abdul Qadir, di sini beliau belajar ilmu-ilmu alat yakni nahwu dan shorof, fiqih, tauhid dan lain-lain, karena beliau belajar di sini sudah cukup lama, maka tidak heran jika ilmu-ilmu tersebut sedikit banyak telah beliau kuasai. </span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Setelah menyelesaikan pelajarannya di pondok pesantren Jepara, beliau masih merasa belum cukup ilmu pengetahuan agamanya, dan akhirnya beliau pergi untuk belajar di Pondok Pesantren Krapyak. </span></div><div style="text-align: justify;"> <!-- back to top link //--> </div>Unknownnoreply@blogger.com0